Isu pelecehan dan kekerasan seksual seakan tiada akhirnya. Belakangan ini, isu pelik ini menjadi isu yang kerap mencuat dalam berbagai media berita di Indonesia. Bagaimana tidak? Kejahatan seksual dapat terjadi pada siapapun dan pada usia berapapun. Kasus kekerasan seksual merupakan jenis kekerasan yang menempati urutan terbanyak dialami korban dengan jumlahnya mencapai 11.686 aduan. Berdasarkan laporan dari KemenPPPA tahun 2022, terdapat 9.588 kasus kekerasan seksual terhadap anak. Pelecehan dan kekerasan seksual juga dapat terjadi dimanapun, baik di tempat umum, di rumah kediaman, bahkan di lingkup pendidikan dan dunia maya. Berdasarkan laporan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan tahun 2015 hingga tahun 2020 menyatakan bahwa sebanyak 27% kasus kekerasan seksual terjadi di jenjang perguruan tinggi. Sumber yang sama mengatakan bahwa terdapat 1.697 laporan kekerasan seksual yang terjadi pada dunia maya atau ruang daring yang mana sebanyak 48% dari total laporan menyatakan pelaku adalah orang yang memiliki hubungan personal dengan korban.
psikologi
Memiliki hidup yang sukses dan bahagia adalah impian bagi semua orang. Ekonomi yang stabil, keluarga yang harmonis, hobi tetap bisa dilakukan, pekerjaan terasa bermakna, dan diri sendiri dapat merasakan ketenangan sekaligus gairah dalam menjalani hidup. Di samping itu, era digitalisasi membawa teknologi dan internet yang kian maju pesat. Salah satu inovasi hasil dari kemajuan tersebut adalah media sosial.
Saat ini, media sosial menjadi suatu hal yang seakan wajib dimiliki semua manusia. Hambatan karena perbedaan waktu dan lokasi telah teratasi dengan adanya media sosial. Bukan hanya itu, media sosial membuat kita bisa mendapatkan ekstra hormon kebahagiaan dopamin dengan cepat dan praktis hanya dengan menggerakkan jari di ponsel pintar. Tingkat aksesibilitasnya yang tinggi membuat kita dapat terhubung dengan mudah pada orang-orang yang berada di tempat yang jauh dari kita.
Kasus perselingkuhan sebenarnya sudah ada sejak lama bahkan sangat dekat dengan kehidupan setiap manusia. Hanya saja, isu perselingkuhan dapat menjadi topik pembicaraan panas jika pelakunya adalah public figure terkenal. Siapa sih yang tidak geram saat menyaksikan berita perselingkuhan para artis yang bersebaran di dunia maya, sampai akhirnya muncul statement sebagaimana berikut.
“Cantik atau ganteng diselingkuhi, sholehah diselingkuhi, kaya diselingkuhi, mapan diselingkuhi, pintar diselingkuhi. Jadi, harus menjadi yang seperti apa lagi agar pasangan menetap sampai akhir hayat nanti?”
Ketika sedang berkumpul bersama teman, keluarga, atau bahkan ketika momen-momen tertentu, seperti ketika sedang patah hati, atau sedang pada fase membangun sebuah hubungan dengan pasangan, pernahkah anda memikirkan tentang apa itu cinta dan apa saja hal yang diperlukan untuk dapat membangun sebuah cinta yang kokoh dalam hubungan? Jika iya, maka ini merupakan artikel yang cocok untuk Anda!
Cinta ada teorinya? yapss benar, ternyata cinta itu ada teorinya loh!!
Topik tentang cinta seolah tidak akan pernah habis dibahas dari masa ke masa. Hal ini karena setiap individu pasti akan mengalami atau pernah merasakan cinta dalam hidupnya. Cinta sendiri banyak bentuknya dan kepada siapa cinta itu dituju, seperti cinta kepada orang tua, anak, hingga pada pasangan romantis seseorang. Mungkin banyak individu yang bertanya-tanya tentang percintaan baik pada diri sendiri, maupun bertanya pada orang lain, seperti “Apa yang dapat membuat hubungan saya langgeng dengan pasangan saya?” atau “Hmm, kira-kira hal apa yang diperlukan untuk dapat membangun sebuah hubungan yang memiliki cinta yang utuh di dalamnya?”. Teori dari Robert Sternberg tentang cinta ini mungkin dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan yang awam ingin diketahui orang, yakni teori yang bernama Triangular Theory of Love.
Mungkin kita tidak asing lagi dengan pepatah yang berbunyi “Cinta itu buta.” Tidak bisa dipungkiri, hal tersebut benar adanya dan dapat terjadi pada individu yang terlibat dalam suatu hubungan, utamanya mereka yang terjebak dalam toxic relationship. Istilah toxic relationship kian menjadi isu yang banyak diperbincangkan, terlebih di kalangan remaja. Menurut tahap perkembangan Erikson, masa remaja menuju dewasa adalah masa di mana individu akan berada pada tahap keintiman vs isolasi di mana mereka akan menjalin hubungan, baik dalam konteks hubungan pertemanan maupun dengan percintaan. Meski demikian, dalam prosesnya tak jarang remaja terjebak dalam hubungan yang salah, salah satunya ialah yang disebut dengan toxic relationship. Hal ini sebab proses pengendalian diri termasuk pengendalian emosi pada remaja belum optimal. Lalu, apa sebenarnya yang disebut dengan toxic relationship? Bagaimana suatu hubungan dapat dikatakan termasuk dalam toxic relationship dan apa dampak serta hal yang harus dilakukan ketika kita terjebak dalam toxic relationship?
Hidup tidak selalu berjalan sesuai rencana, ada kalanya manusia mengalami situasi krisis, seperti bencana alam, kecelakaan, perang, kebakaran, peristiwa traumatis, dan kekerasan interpersonal (contoh: perundungan, pelecehan, percobaan pembunuhan, kekerasan dalam rumah tangga, dll). Situasi krisis yang mengakibatkan perubahan pada hidup manusia cenderung diikuti oleh kesedihan, kemarahan, ketakutan, kecemasan, dan aneka macam emosi negatif lainnya yang bisa dialami secara berbeda antar individu, sesuai dengan kondisi mental masing-masing.
“Dua minggu full kerja. Lelah, benar-benar lelah. Aku kurang istirahat!”
“Aku bosan dengan pekerjaanku. Lelah rasanya!”
“Kapan ya aku bisa istirahat? Tenagaku habis karena terforsir untuk bekerja.”
“Aku merasa hidupku hanya untuk bekerja. Sungguh, aku ingin merefresh pikiran ini agar bisa kembali fokus!”
Kalimat-kalimat di atas pasti pernah diucapkan oleh rekan kerja kita atau bahkan kita sendiri yang mengatakannya. Kondisi saat seseorang merasa lelah secara fisik, mental, dan emosional dengan pekerjaannya sehingga berakibat pada penurunan produktivitas kerja bisa disebut burnout. Burnout pertama kali dikenalkan oleh seorang psikolog bernama Herbert Freudenberger pada tahun 1974 melalui sebuah artikel yang ditulis olehnya.
Media sosial sudah menjadi kebutuhan manusia masa kini, tanpanya manusia akan mengalami kesulitan dalam mengetahui aneka macam informasi tentang pekerjaan atau aktivitas yang sedang dijalani. Dilansir dari website Kementerian Komunikasi dan Informatika, sebanyak 63 juta masyarakat Indonesia telah menjadi pengguna aktif internet, 95% dari angka tersebut menggunakan internet untuk mengakses media sosial. Lima macam media sosial yang menempati peringkat tertinggi di Indonesia adalah whatsapp (92.1%), instagram (86.5%), facebook (83.8%), tiktok (70.8%), dan telegram (64.3%).
Hari raya Idul Fitri atau yang biasa dikenal juga sebagai lebaran merupakan salah satu hari yang paling dinantikan oleh seluruh masyarakat di Indonesia. Pada hari itu, masyarakat dengan gembira merayakan kemenangannya dengan menjalankan berbagai tradisi berbeda. Beberapa memilih untuk melakukan tradisi mudik atau berbondong-bondong pulang ke kampung halaman. Beberapa yang lain memilih untuk melakukan tradisi ujung-ujung dengan mengunjungi satu per satu rekan, saudara, teman, dan tetangga yang berada di sekelilingnya. Yang pasti, sejak gema takbir disuarakan pada malam hari itu, semua orang akan langsung melakukan tradisi paling sakral yang selalu dinantikan, yaitu tradisi saling bermaafan.
“Idolaku sudah upload postingan baru belum ya?”
“Tahu nggak sih, sekarang zamannya style seperti ini lo!”
“Enak sekali jadi dia, hidupnya serba mudah.”
“Setiap kali melihat postingan temanku, aku merasa tidak ada apa-apanya. Bagaimana ya agar aku bisa menjadi seperti dia?”
Pernah nggak sih kita mempertanyakan hal-hal di atas? Saat kita selalu ingin terkoneksi dengan dunia maya, mengetahui aktivitas orang-orang tertentu atau trend terbaru yang sedang banyak diperbincangkan. Apa saja dampak negatif dari fenomena ini? Nah, untuk mengetahui jawabannya mari menelisik secara ringkas dari sudut pandang psikologi.