Layar kaca seakan tak pernah lelah menyajikan berita remaja masa kini. Tercatat hingga tanggal 24 Februari 2023, laman Kompas.tv melaporkan setidaknya terdapat tujuh kasus agresivitas remaja yang viral di media sosial. Pada awal Januari, media sosial dihebohkan dengan aksi pembunuhan dan penjualan organ ginjal anak oleh dua remaja. Baru-baru ini, masyarakat kembali digegerkan dengan tingkah tiga remaja yang tega menganiaya siswa SMK.
Mengacu pada kamus psikologi American Psychological Association (APA), agresivitas didefinisikan sebagai perilaku yang bertujuan menyakiti orang lain secara fisik atau psikologis. Perilaku agresi bisa berbentuk verbal (cacian, makian, menyebarkan rumor atau kalimat negatif kepada seseorang yang tidak menginginkan adanya perlakuan tersebut) atau fisik (memukul, menendang, atau tindakan fisik lainnya yang bertujuan menyakiti).
Bagaimana bisa remaja melakukan perilaku agresi? Apakah agresivitas terbentuk secara tiba-tiba?
Studi longitudinal menunjukkan bahwa perilaku agresi di masa remaja turut dipengaruhi oleh perilaku agresi di masa kanak-kanak. Agresivitas dalam skala ringan yang dibiarkan bisa menjadi pemicu agresivitas yang lebih berat di usia remaja nanti. Pemakluman orang sekitar terhadap perilaku agresi akan menjadi kebenaran bagi yang melakukan, akibatnya pelaku agresivitas akan merasa bahwa yang telah dilakukannya bukan sebuah kesalahan.
Menurut dosen psikologi UGM, Nurul Kusuma H, M.Psi., Psikolog, dalam acara kuliah online CPMH, “Sesuatu yang salah, jika tidak ada pengetahuan baru maka ada kemungkinan perilaku itu akan berulang.”
Berikut adalah faktor-faktor yang dapat memicu timbulnya perilaku agresi. Antara satu faktor dengan faktor lainnya saling berkaitan, upaya memahami keterkaitan antar faktor akan membantu kita untuk mengetahui remaja mana saja yang memiliki kondisi risiko untuk berperilaku agresif sehingga dapat mengupayakan tindakan preventif.
Faktor Biologis
Genetik, perkembangan abnormal pada struktur otak, dan gangguan eksekutif ternyata bisa menjadi penyebab seseorang berperilaku agresi. Otak manusia memiliki satu bagian yang bernama amigdala, berfungsi sebagai pusat emosi dan belajar perilaku. Di dalam amigdala terdapat struktur, sirkuit saraf, dan neurotransmitter. Ketika sirkuit saraf mengalami kerusakan maka akan sangat memegaruhi dua belah otak. Prefontal cortex gagal mengontrol perilaku dan kontrol diri, sementara amigdala menjadi hiper responsif sehingga mudah memicu emosi.
Faktor Individu
Jenis kelamin, ketidakmampuan mengontrol diri, dan rendahnya self esteem dianggap dapat menjadi faktor risiko seseorang melakukan agresivitas. Dalam buku psikologi perkembangan John W. Santrock menjelaskan bahwa anak laki-laki cenderung memiliki sikap agresi yang lebih tinggi daripada perempuan. Laki-laki lebih banyak melakukukan perilaku agresi non verbal, sementara perempuan berperilaku agresi verbal.
Faktor Keluarga dan Pola Asuh
Keluarga menjadi tempat pertama anak mengenal kehidupan. Sikap positif orang tua pada agresivitas, seperti contohnya menganggap perilaku membanting piring saat menangis sebagai strategi coping dan menganggap bahwa perbuatan itu akan hilang saat anak beranjak remaja bisa membuat anak berpikir bahwa tindakan yang dilakukan itu benar.
Monitoring dan pendampingan orang tua juga mengambil peran yang signifikan dalam pembentukan perilaku agresif. Dosen psikologi UGM, Wirdatul Anisa, M.Psi., Psikolog, mengungkapkan bahwa bukan perekonomian keluarga yang menjadi penyebab agresivitas, melainkan peran orang tua dalam pendampingan anak.
Selain itu, terdapat hal-hal lain di lingkaran keluarga yang beresiko tinggi menjadi bibit agresivitas. Di antaranya adalah ketiadaan peran ayah, disiplin yang keras, kekerasan, konflik antar anggota keluarga, dan memiliki kelekatan yang tidak aman secara emosional sehingga memengaruhi kestabilan emosi. Akibatnya, kemampuan regulasi emosi anak kurang bagus
Faktor Sosial Budaya
“Kita perlu menjadikan semua anak sebagai tanggung jawab kita, bukan sekedar anak kandung sendiri.”
Kalimat di atas disampaikan oleh Ibu Nurul Nurul Kusuma dalam kuliah online Center for Public Mental Health (CPMH) Universitas Gadjah Mada. Ada kalanya anak sudah berada di lingkungan keluarga yang positif, namun sayangnya sosial budaya mengacaukan usaha orang tua dalam membentuk kepribadian anak.
Remaja cenderung memiliki rasa belonging, secara sengaja atau tidak remaja mencari tempat yang membuat mereka merasa dimiliki dan dihargai. Remaja bisa saja terdorong melakukan perilaku agresi karena ingin dianggap oleh kelompok-kelompok tertentu. Mereka berpikir, “Kok aku merasa dianggap oleh kelompok ini ya? Oke lah nggak papa ikut tawuran yang penting aku punya teman!”
Bukan hanya itu saja, saat ini paparan agresivitas dapat dengan mudah diakses oleh remaja. Tayangan perilaku agresi hampir ada di semua laman media sosial, seperti Instagram, tik tok, youtube, game, dll. Dilansir dari hasil eksperimen Bobo Doll yang dilakukan oleh Albert Bandura, Dorothea Ross, dan Sheila A. Ross menjelaskan, anak yang pernah mendapatkan paparan agresivitas cenderung akan berperilaku agresif sebagaimana yang pernah dia lihat.
Setelah mengenal berbagai faktor risiko perilaku agresi. Selanjutnya, kita perlu juga mengetahui upaya pencegahan dan penanganan perilaku agresif, yaitu.
- Membangun hubungan positif di keluarga, bukan hanya anak ke orang tua namun semua element, baik orang tua ke anak, anak ke sesama saudara, dan juga orang tua dan/anak kepada anggota lain yang tinggal di dalam rumah.
- Mengajarkan kemampuan regulasi emosi dan keterampilan penyelesain masalah, masa remaja adalah masa kritis saat bagian prefrontal cortex sedang berkembang, bagian otak ini bertugas mengurusi regulasi emosi dan kognisi. Sedari dini, anak perlu mulai diajari cara mengenal, menganalisa, dan mengkomunikasikan emosi dengan baik, terutama saat merasa marah dan frustasi
- Mendukung aktif secara fisik, aktif dalam hal ini mengarah ke perilaku positif, seperti berolah raga dan/atau berkegiatan yang banyak melibatkan gerak motorik. Selain bermanfaat bagi perkembangan tubuh, aktivitas fisik juga baik untuk pikiran dan stabilitas emosi.
- Mempromosikan hubungan positif dengan keluarga, lingkungan, dan teman sebaya sehingga orang lain dapat menerima kehadiran pelaku agresivitas dalam circle pertemanan. Akibatnya, pelaku agresivitas merasa bahwa dirinya diterima dan mulai belajar bagaimana bersikap yang baik dari lingkungan sekitar.
Penulis : Relung Fajar Sukmawati
Photo by Cuttonbro Studio on Pexels