Dewasa ini, dinamika kampanye politik mengalami perubahan yang cukup signifikan dengan hadirnya media. Lihat saja, seluruh kegiatan persuasi dan pengenalan tokoh politik kepada masyarakat yang dulu kerap dilakukan dengan kegiatan fisik seperti konvoi hingga orasi di kerumunan saat ini tergantikan dengan narasi-narasi manis beserta ilustrasi asik yang termuat di media massa. Maka tak heran jika saat ini media acapkali disebut sebagai kunci rahasia dari kesuksesan kampanye politik. Tapi sebenarnya, bagaimana cara media memengaruhi pembentukan opini pada masyarakat? Jawabannya dapat kita cermati melalui analisis Elaboration Likelihood Model (ELM).
Artikel Psikologi
“Kayaknya aku gak layak deh!”
“Kok aku gak kayak yang lain ya?”
Hayo! Siapa yang sering kayak gitu? Nah, perilaku tersebut sering kita jumpai di berbagai kalangan seperti remaja sampai dewasa. Wajar jika kita mengalami kesulitan dan tidak melakukan apapun secara sempurna dalam kehidupan sehari-hari sehingga menimbulkan perilaku membanding-bandingkan diri sendiri dengan orang lain. Hal ini disebut dengan insecure. Perasaan insecure adalah sebuah perasaan ragu, tidak percaya diri, dan cemas yang dapat mengganggu berbagai aspek kehidupan. Bagaimana tidak? Orang yang insecure akan membandingkan dirinya dengan pencapaian orang lain sehingga menganggap bahwa dirinya tidak layak dan tidak mampu.
Apakah kamu sering merasa perlu memuaskan dan memenuhi keinginan orang lain? Apakah kamu tak jarang mengorbankan keinginan pribadi demi mendapatkan persetujuan orang lain? Jika iya, kamu mungkin adalah seorang people pleaser. People pleaser merupakan istilah yang digunakan untuk merujuk pada orang yang selalu berusaha melakukan segala yang diperlukan untuk membuat orang lain bahagia.
Tipe orang ini sangat peka terhadap perasaan orang lain dan sering dianggap sebagai individu yang mudah didekati, senang membantu, dan baik hati. Namun, people pleaser juga sering kesulitan untuk membela diri sendiri, yang dapat mengarah pada pola yang merugikan, seperti pengorbanan diri atau self-neglect. Jadi, pada people pleaser, meskipun niat membantu orang lain ini baik, sayangnya perilaku tersebut bisa berdampak negatif pada kesejahteraan diri sendiri.
Kita seringkali mencari cinta dari orang lain sebelum mencarinya dalam diri sendiri. Namun, banyak yang mulai mengalihkan fokus tersebut ke dalam diri sendiri saat merenungkan makna dan tujuan self-love. Meskipun bukan istilah baru, konsep self-love semakin popular dalam beberapa tahun terakhir. Banyak yang mulai menyadari hubungan antara self-love dan kesehatan mental. Lebih jauh lagi, banyak orang merasakan keadaan di mana mereka membutuhkan cinta dari diri sendiri sebesar cinta yang dibutuhkan dari orang lain. Seringkali, kritik terhadap konsep self-love muncul. Namun, kritik ini didasarkan pada kesalahpahaman. Untuk membantu memperjelas, mari kita perjelas apa yang bukan termasuk self-love namun sering disalahpahami sebagai self-love.
Pernahkah kalian merasa bahwa saat menggunakan media sosial, kalian menjadi sosok yang lain? Apakah kalian menjadi lebih bebas dalam mengutarakan sesuatu di media sosial dibanding di dunia nyata? Jika iya, kalian sedang merasakan online disinhibition effect.
Nah, apa sih online disinhibition effect itu?
Istilah online disinhibition effect pertama kali diperkenalkan oleh John Suler pada 2004. Ia mengungkapkan bahwa online disinhibition effect merupakan suatu kondisi akibat berkurangnya kekangan saat seseorang berada di media sosial. Orang-orang menjadi lebih terbuka, nyaman, dan bebas dalam mengekspresikan diri mereka. Oleh karena itu, saat bermedia sosial, orang dapat mengungkapkan dan melakukan hal-hal yang tidak dilakukan di dunia nyata.
Kita sering berbicara tentang oversharing dan hilangnya personal space di media sosial. Namun, apa perbedaan antara sharing dengan oversharing? Penelitian tentang pengungkapan diri (sharing) menunjukkan bahwa kita lebih menyukai satu sama lain ketika kita berbagi, tetapi di sisi lain, pengungkapan diri yang dianggap tidak pantas secara sosial akan mengurangi rasa suka. Namun, bagaimana batasan hal yang kita bagikan di media sosial dapat memengaruhi cara pandang orang lain? Berikut ini merupakan beberapa saran yang didukung oleh penelitian tentang apa yang seharusnya dan tidak seharusnya kita bagikan di media sosial.
Jika dilihat dengan seksama di lingkungan sekitar kita, batas-batas terlihat sekedar berlaku sebagai pemisah antara dua bidang. Tembok yang memisahkan dua buah bangunan atau batas wilayah yang terpisahkan oleh sungai. Merefleksikan ke dalam diri kita, ternyata membangun batasan juga diperlukan dalam konteks manusia. Pada kehidupan sosial yang kompleks ini, terhubung dan membangun relasi dengan individu lain menjadi kebutuhan yang tidak terpisahkan. Namun, acapkali kita terjebak dalam lingkaran yang tidak berujung dimana kita terlalu banyak menyerap beban di luar tanggung jawab kita. Melelahkan bukan? Namun, penting untuk diingat bahwa setiap individu memiliki kebutuhan dan preferensi yang berbeda sesuai dengan nilai-nilai yang dianutnya.
Isu kesehatan mental menjadi hal yang semakin banyak dibahas dan diperhatikan akhir-akhir ini. Masyarakat tampaknya mulai menyadari pentingnya kesehatan mental dalam lingkup kehidupan. Hal tersebut diiringi dengan penggunaan media sosial yang semakin meningkat, yang mana pada masa sekarang ini, penyebaran informasi menjadi lebih cepat melalui sosial media. Informasi apapun dari sumber manapun dapat diakses oleh semua orang. Tidak jarang, hal tersebut berujung pada maraknya fenomena self-diagnose sebagai salah satu akibat dari romantisasi gangguan mental.
Pada Mei 2023, media sosial diramaikan dengan pemberitaan bahwa Indonesia menempati peringkat ketiga di dunia sebagai fatherless country. Meskipun setelah ditilik lebih lanjut tidak ada publikasi ilmiah yang jelas terkait peringkat itu, tapi fenomena ini tetap perlu mendapat sorotan karena faktanya masih banyak anak di Indonesia yang tumbuh dan berkembang tanpa figur ayah. Hal ini terbukti dari survei yang dirilis KPAI pada 2015 yang menunjukkan bahwa keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak masih tergolong kurang. Kurang dari 40% ayah yang mencari informasi terkait praktik pengasuhan anak yang baik. Praktik pengasuhan anak oleh ayah pada fase awal kehidupan anak hanya 69,9%, lebih rendah dari ibu yang sebesar 89,9%. Selain itu, banyak ayah yang ditemui kurang aktif dan inisiatif dalam berdiskusi dengan anak.
Dinda adalah seorang siswa Sekolah Menengah Atas (SMA) yang memiliki kesulitan dalam memahami pelajaran Bahasa. Suatu hari, guru Dinda membagikan hasil ulangan pelajaran Bahasa di kelas. Ternyata Dinda gagal dalam ujian tersebut karena nilainya sangat rendah. Dinda ingin lulus pada mata pelajaran Bahasa. Dinda memiliki keyakinan bahwa dirinya dapat menguasai pelajaran Bahasa dengan cara lebih gigih belajar. Dinda mulai mengubah cara belajarnya agar semakin efektif dengan cara meminta kepada temannya untuk belajar bersama, meluangkan waktu dua jam sehari untuk belajar Bahasa di rumah, memanfaatkan internet untuk mencari berbagai sumber yang menyediakan soal-soal latihan, dan bertanya kepada guru di sekolah terkait materi yang tidak dipahaminya. Dinda berhasil mendapatkan nilai 100 pada ujian akhir semester.