“Idolaku sudah upload postingan baru belum ya?”
“Tahu nggak sih, sekarang zamannya style seperti ini lo!”
“Enak sekali jadi dia, hidupnya serba mudah.”
“Setiap kali melihat postingan temanku, aku merasa tidak ada apa-apanya. Bagaimana ya agar aku bisa menjadi seperti dia?”
Pernah nggak sih kita mempertanyakan hal-hal di atas? Saat kita selalu ingin terkoneksi dengan dunia maya, mengetahui aktivitas orang-orang tertentu atau trend terbaru yang sedang banyak diperbincangkan. Apa saja dampak negatif dari fenomena ini? Nah, untuk mengetahui jawabannya mari menelisik secara ringkas dari sudut pandang psikologi.
Media sosial menyediakan bentuk informasi sosial yang semakin melimpah, manusia dapat dengan mudah mendapatkan informasi-informasi baru dari berbagai jejaring sosial. Banjir pembaruan yang dipacu oleh perkembangan digital melahirkan fenomena baru yang disebut Fear of Missing Out (FoMO). FoMo didefinisikan sebagai ketakutan yang dialami oleh individu karena khawatir jika orang lain memiliki kehidupan yang lebih menarik dibandingkan dirinya sendiri, FoMo dicirikan dengan keinginan untuk terus mengetahui aktivitas orang lain melalui media sosial.
Berikut faktor penyebab Fear of Missing Out.
- Kebutuhan Bersosialisasi. Manusia memiliki naluri untuk terhubung dengan orang-orang sekitar. Ketika manusia mengalami penolakan di suatu lingkungan, maka dia akan otomatis mencari lingkungan lain yang dapat memenuhi kebutuhan sosial. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa magister psikologi Universitas Gadjah Mada menunjukkan bahwa penggunaan media sosial (contoh: facebook) dapat mengembangkan dan memelihara hubungan interpersonal serta meningkatkan popularitas. Penelitian lain juga menyatakan bahwa layanan seperti facebook, twitter, dan foursquare adalah alat teknologi yang menjanjikan keterhubungan sosial. Selain penolakan, kesepian bisa memicu manusia untuk lebih banyak meluangkan waktu berselancar di dunia maya.
- Ketertarikan Menggunakan Media Sosial. Dilansir dari penelitian yang dilakukan oleh Pertiwi, individu yang pernah mengalami pengalaman buruk dalam pertemanan (korban bullying, penolakan, dll) cenderung takut membangun hubungan baru. Akibatnya, individu tersebut merasa lebih nyaman membangun jejaring pertemanan melalui media sosial.’
- Faktor dalam Diri. Di sisi lain, ada juga individu yang terus terkoneksi dengan media sosial hanya karena takut tertinggal trend baru atau aktivitas orang-orang tertentu, dia ingin terlihat sebagai sosok yang mengikuti perkembangan zaman. Ketika ada perubahan atau informasi-informasi baru, dia ingin segera mengetahui.
Dampak Negatif
Intensitas yang tinggi dalam bermedia sosial memberikan dampak negatif bagi individu yang bersangkutan. Di antaranya:
- Menurunkan kesejahteraan dan kesehatan psikologis. Manusia cenderung menampilkan hal-hal positif di laman media sosial, baik yang berkenaan dengan pekerjaan, keluarga, maupun pendidikan. Kebahagiaan di dunia maya seperti halnya fenomena gunung es, menyembunyikan berbagai macam peristiwa duka sehingga yang terlihat hanya prestasi gemilang saja. Contoh, membeli pakaian sesuai trend fashion terbaru tetapi sebenarnya tidak memiliki kemampuan finansial yang memadai, sehingga yang bersangkutan rela berhutang hanya untuk memenuhi keinganan tersebut. Meskipun seperti itu, seseorang yang dalam hal ini berperan sebagai penonton kebahagiaan orang lain mayoritas hanya fokus memperhatikan moment bahagia. Akibatnya, dia merasa tertinggal dan membandingkan pencapaian dirinya dengan pencapaian orang lain.
- Menurunkan produktivitas. Terlalu sibuk mengamati kehidupan orang lain membuat manusia melupakan target prioritas hidup yang seharusnya lebih penting untuk diperjuangkan. Mari merenung bersama, “Bukankah ada banyak pekerjaan yang perlu diselesaikan daripada sekedar scrolling media sosial? Bukankah pekerjaan kita akan semakin menumpuk jika kita sibuk mengamati kehidupan orang lain atau mengikuti informasi trend terbaru? Apakah dinamika kehidupan orang lain di luar sana sangat memengaruhi kesuksesan kita?”
- Mengurangi kebermaknaan hidup. Manusia dapat dikatakan memiliki kehidupan bermakna jika memenuhi kriteria berikut: (a) memperjuangkan konsep-konsep kebermaknaan hidup, (b) memiliki tujuan hidup, (c) melihat diri sendiri terpenuhi dan sedang berusaha keras merealisasikan tujuan hidup, (d) merasakan pengalaman emosi yang mendatangkan kebermaknaan hidup. Fear of missing out secara tidak langsung menjauhkan manusia dari kebermaknaan hidup karena membuat manusia tertambat pada kehidupan orang lain.
Cara Mengatasi Fear of Missing Out
- Mengetahui kekuatan diri, Prof. Dra. Kwartarini Wahyu Yuniarti, M.Med.Sc., Ph.D., Psikolog, mengatakan bahwa segala pencapaian hidup yang dialami oleh seluruh manusia senantiasa didukung oleh berbagai macam kekuatan diri. Kekurangan ada bukan untuk diratapi, namun diantisipasi.
- Mengurangi konsumsi media sosial, jika diri merasa terlalu banyak terpapar media sosial hingga berakibat pada penurunan produktivitas hidup, sebenarnya itu adalah sinyal untuk lebih banyak menikmati kehidupan nyata. Salah satu caranya bisa dengan menerapkan reward, jadi kita baru boleh berselancar di dunia maya ketika berhasil menyelesaikan tugas-tugas tertentu.
- Menikmati proses dan memperbanyak syukur, mari menikmati perjalanan dalam mencapai segala sesuatu yang kita inginkan. Setiap manusia meskipun menanam di waktu yang sama tetapi bukan berarti akan memanen bersama. Teruslah berjalan dan mensyukuri setiap pencapaian-pencapaian kecil, karena berawal dari pencapaian kecil itulan pencapaian besar sedikit demi sedikit akan dapat diraih.
Penulis : Relung Fajar Sukmawati
Photo by Cuttonbro Studio on Pexels