Hari raya Idul Fitri atau yang biasa dikenal juga sebagai lebaran merupakan salah satu hari yang paling dinantikan oleh seluruh masyarakat di Indonesia. Pada hari itu, masyarakat dengan gembira merayakan kemenangannya dengan menjalankan berbagai tradisi berbeda. Beberapa memilih untuk melakukan tradisi mudik atau berbondong-bondong pulang ke kampung halaman. Beberapa yang lain memilih untuk melakukan tradisi ujung-ujung dengan mengunjungi satu per satu rekan, saudara, teman, dan tetangga yang berada di sekelilingnya. Yang pasti, sejak gema takbir disuarakan pada malam hari itu, semua orang akan langsung melakukan tradisi paling sakral yang selalu dinantikan, yaitu tradisi saling bermaafan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa tradisi saling bermaafan menjadi tradisi utama yang melekat kuat pada perayaan hari raya Idul Fitri. Pada dasarnya, tradisi ini merupakan suatu bentuk implementasi masyarakat akan konsep fitrah yang dalam ajaran agama Islam diartikan sebagai suatu keyakinan bahwa semua manusia yang ada di muka bumi ini dilahirkan dengan kondisi yang suci, baik secara jasmani maupun rohani. Tentunya tidak ada yang salah dari tradisi saling bermaafan ini. Namun, yang menjadi menarik adalah terdapat temuan yang menunjukkan bukti bahwa tidak semua orang mampu untuk memaafkan dan meminta maaf secara sungguh-sungguh ketika melakukan tradisi tersebut.
Sebagai contoh, penelitian yang telah dilakukan sebelumnya menunjukan bukti bahwa ketika menjalankan tradisi saling bermaafan di hari lebaran, hanya segelintir partisipan yang mampu untuk benar-benar memaafkan. Beberapa partisipan dalam penelitian tersebut diketahui hanya melaksanakan tradisi saling bermaafan sebagai bentuk praktik keagamaan saja tanpa benar-benar meresapi nilainya. Bahkan, beberapa partisipan lain memilih untuk mempraktikkan konsep forgetting yaitu dengan melupakan pengalaman negatif yang pernah dialami dan tidak mempraktikkan konsep saling bermaafan karena beberapa alasan seperti adanya kemarahan yang masih terpendam, adanya dampak buruk yang masih dirasakan, dan trauma.
Lalu sebenarnya, bagaimanakah psikologi memandang tradisi saling bermaafan ini?
Konsep maaf (forgiveness) merupakan salah satu konsep psikologi yang diperkenalkan oleh Enright, Santos, dan Al-Mabuk pada tahun 1989. Sebelumnya, konsep ini sudah cukup dikenal oleh masyarakat sebagai konsep sosial keagamaan. Namun demikian, sejak tahun 1989, konsep maaf mulai mendapatkan ruang untuk dikembangkan sebagai suatu konsep pengetahuan. Secara umum, konsep ini didefinisikan sebagai suatu konsep kompleks yang melibatkan kesukarelaan sikap, perasaan, dan perilaku individu untuk dapat mengesampingkan perasaan negatif yang dimiliki dan menunjukkan belas kasih serta kemurahan hati terhadap individu lain yang pernah melakukan kesalahan, ketidakadilan, atau bahkan menyakiti individu tersebut baik secara sengaja maupun tidak. Konsep maaf sendiri diketahui tidak hanya melibatkan aspek afeksi saja tetapi juga aspek kognitif, perilaku, interpersonal, motivasional, hingga pengambilan keputusan.
Pada tahun 2003, Worthington mencanangkan sebuah teori untuk membagi konsep maaf ke dalam dua tipe berbeda berdasarkan akar dari maaf itu sendiri. Dalam teorinya, Worthington mengatakan bahwa maaf dapat dibagi ke dalam dua tipe yang berbeda, yaitu decisional forgiveness dan emotional forgiveness. Dalam hal ini, decisional forgiveness diartikan sebagai sebuah bentuk pemaafan yang diberikan oleh individu atas keputusannya sendiri untuk bersikap baik terhadap individu lain yang telah melakukan kesalahan padanya. Sementara emotional forgiveness diartikan sebagai bentuk permaafan yang diberikan oleh individu atas motivasi yang dimiliki oleh individu tersebut setelah merasa selesai dengan permasalahan yang dialami sebelumnya.
Penerapan decisional forgiveness maupun emotional forgiveness diketahui memiliki efek yang berbeda bagi individu. Dalam penerapannya, individu yang melakukan permaafan dengan tipe emotional forgiveness diketahui memiliki kemampuan yang lebih baik untuk dapat melupakan hal-hal yang pernah menyakitinya serta memiliki toleransi yang lebih besar akan hal-hal lain yang masih memiliki relevansi tinggi dengan hal tersebut. Di sisi lain, penerapan permaafan dengan tipe decisional forgiveness memberikan dampak positif bagi kesejahteraan psikologi individu dengan kurun waktu yang lebih singkat jika dibandingkan dengan emotional forgiveness.
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, dalam kacamata psikologi, proses maaf dan memaafkan termasuk dalam suatu konsep kompleks yang turut melibatkan banyak faktor di dalamnya, tak terkecuali faktor neurologis. Berdasarkan studi yang dilakukan kepada 199 individu pada usia dewasa awal, diketahui bahwa terdapat hubungan antara struktur otak individu dengan kecenderungannya dalam memaafkan. Dalam penelitian tersebut, ditemukan bukti bahwa individu yang mendapatkan skor tinggi pada pengetesan The Tendency to Forgive (TTF) memiliki volume materi abu-abu yang lebih besar pada korteks prefrontal dorsolateral serta volume materi abu-abu yang lebih kecil pada korteks insular kanan dan girus frontal inferior. Lebih lanjut, dijelaskan pula bahwa masing-masing bagian otak tersebut terasosiasi dengan kemampuan individu untuk menunjukkan respon empati dan kontrol kognitif.
Menurut perspektif psikologi, konsep maaf, memaafkan, dan saling bermaafan memang bukanlah hal yang sederhana. Sejak kajian pertama diluncurkan 30 tahun yang lalu, perkembangan teori, temuan, dan gagasan mengenai konsep ini tidak berhenti untuk didalami. Salah satu hal yang menarik adalah bahwa dalam perkembangannya, studi-studi yang dilakukan selalu menemukan dampak positif dari penerapan konsep maaf pada diri individu. Sebagai contoh, penelitian yang telah dilakukan sebelumnya menemukan bukti bahwa penerapan konsep maaf dapat mengurangi kemarahan, kecemasan, bahkan depresi yang dialami oleh individu.
Tidak hanya itu saja, penelitian lain juga menemukan bukti bahwa penerapan konsep maaf dapat membantu individu dalam mempertahankan kesehatan fisiknya dengan lebih baik. Dalam hal ini, dijelaskan bahwa individu yang mampu untuk menerapkan konsep maaf cenderung menunjukkan respon stres fisiologis yang lebih sedikit sementara individu yang belum mampu menerapkan konsep maaf memiliki potensi yang lebih besar untuk mengalami peningkatan konduktansi kulit, detak jantung, dan tekanan darah.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa di samping pembahasannya yang menarik, penerapan konsep maaf juga memiliki manfaat yang besar bagi diri setiap individu. Untuk itu, dengan mengetahui segala dampak positif dari penerapan konsep maaf marilah kita senantiasa berusaha untuk dapat terus memberi dan juga meminta permaafan, baik kepada diri kita sendiri maupun kepada orang lain di sekeliling kita. Tentu saja semua ini kita lakukan tidak hanya untuk kebaikan orang lain tetapi juga untuk kebaikan kita sendiri.
Selamat hari raya Idulfitri 1444 Hijriyah
Mohon maaf lahir dan batin.
Penulis : Mlathi Anggayuh Jati
Photo by Rodnae Productions on Pexels