Media sosial sudah menjadi kebutuhan manusia masa kini, tanpanya manusia akan mengalami kesulitan dalam mengetahui aneka macam informasi tentang pekerjaan atau aktivitas yang sedang dijalani. Dilansir dari website Kementerian Komunikasi dan Informatika, sebanyak 63 juta masyarakat Indonesia telah menjadi pengguna aktif internet, 95% dari angka tersebut menggunakan internet untuk mengakses media sosial. Lima macam media sosial yang menempati peringkat tertinggi di Indonesia adalah whatsapp (92.1%), instagram (86.5%), facebook (83.8%), tiktok (70.8%), dan telegram (64.3%).
Hari raya Idul Fitri atau yang biasa dikenal juga sebagai lebaran merupakan salah satu hari yang paling dinantikan oleh seluruh masyarakat di Indonesia. Pada hari itu, masyarakat dengan gembira merayakan kemenangannya dengan menjalankan berbagai tradisi berbeda. Beberapa memilih untuk melakukan tradisi mudik atau berbondong-bondong pulang ke kampung halaman. Beberapa yang lain memilih untuk melakukan tradisi ujung-ujung dengan mengunjungi satu per satu rekan, saudara, teman, dan tetangga yang berada di sekelilingnya. Yang pasti, sejak gema takbir disuarakan pada malam hari itu, semua orang akan langsung melakukan tradisi paling sakral yang selalu dinantikan, yaitu tradisi saling bermaafan.
“Idolaku sudah upload postingan baru belum ya?”
“Tahu nggak sih, sekarang zamannya style seperti ini lo!”
“Enak sekali jadi dia, hidupnya serba mudah.”
“Setiap kali melihat postingan temanku, aku merasa tidak ada apa-apanya. Bagaimana ya agar aku bisa menjadi seperti dia?”
Pernah nggak sih kita mempertanyakan hal-hal di atas? Saat kita selalu ingin terkoneksi dengan dunia maya, mengetahui aktivitas orang-orang tertentu atau trend terbaru yang sedang banyak diperbincangkan. Apa saja dampak negatif dari fenomena ini? Nah, untuk mengetahui jawabannya mari menelisik secara ringkas dari sudut pandang psikologi.
Sebagai makhluk sosial, tidak mungkin rasanya jika manusia senantiasa mengerjakan semua pekerjaan sendiri. Pada situasi tertentu, kerja sama antara beberapa orang sangat diperlukan agar semakin mudah mencapai tujuan yang diinginkan. Banyak tangan meringankan pekerjaan, begitulah kalimat masyhur yang menggambarkan efektivitas kerja kelompok.
Tetapi, bukan berarti kerja kelompok tidak memiliki sisi negatif. Salah satu permasalahan yang sering terjadi adalah ketidakmaksimalan salah satu anggota atau bahkan lebih dalam upaya menyelesaikan tugas. Di psikologi, fenomena seperti ini disebut social loafing, yaitu suatu kondisi ketika seseorang memberikan usaha minimum dalam kerja kelompok.
Layar kaca seakan tak pernah lelah menyajikan berita remaja masa kini. Tercatat hingga tanggal 24 Februari 2023, laman Kompas.tv melaporkan setidaknya terdapat tujuh kasus agresivitas remaja yang viral di media sosial. Pada awal Januari, media sosial dihebohkan dengan aksi pembunuhan dan penjualan organ ginjal anak oleh dua remaja. Baru-baru ini, masyarakat kembali digegerkan dengan tingkah tiga remaja yang tega menganiaya siswa SMK.
Mengacu pada kamus psikologi American Psychological Association (APA), agresivitas didefinisikan sebagai perilaku yang bertujuan menyakiti orang lain secara fisik atau psikologis. Perilaku agresi bisa berbentuk verbal (cacian, makian, menyebarkan rumor atau kalimat negatif kepada seseorang yang tidak menginginkan adanya perlakuan tersebut) atau fisik (memukul, menendang, atau tindakan fisik lainnya yang bertujuan menyakiti).
Berbicara tentang childfree, sebenarnya sudah ada sejak dahulu dengan istilah filosofisnya antinatalisme, yaitu paham yang dianut seseorang atau kelompok yang berpikir bahwa kelahiran memiliki konotasi negatif. Nah akhir-akhir ini, istilah childfree semakin dikenal oleh khalayak masyarakat sejak statement salah satu influencer yang mengatakan bahwa hidup tanpa anak merupakan anti-aging alami, karena pasangan suami istri bisa tidur selama delapan jam sehari, tidak mendengar teriakan anak-anak, dan jika kerutan mulai muncul maka bisa melakukan botox wajah dengan uang yang dimiliki.