“Dua minggu full kerja. Lelah, benar-benar lelah. Aku kurang istirahat!”
“Aku bosan dengan pekerjaanku. Lelah rasanya!”
“Kapan ya aku bisa istirahat? Tenagaku habis karena terforsir untuk bekerja.”
“Aku merasa hidupku hanya untuk bekerja. Sungguh, aku ingin merefresh pikiran ini agar bisa kembali fokus!”
Kalimat-kalimat di atas pasti pernah diucapkan oleh rekan kerja kita atau bahkan kita sendiri yang mengatakannya. Kondisi saat seseorang merasa lelah secara fisik, mental, dan emosional dengan pekerjaannya sehingga berakibat pada penurunan produktivitas kerja bisa disebut burnout. Burnout pertama kali dikenalkan oleh seorang psikolog bernama Herbert Freudenberger pada tahun 1974 melalui sebuah artikel yang ditulis olehnya.
Meskipun pada mulanya burnout sering dialami oleh pekerja kemanusiaan (guru, dokter, pengacara, psikolog, perawat, social worker, dll), namun akhir-akhir ini burnout bisa terjadi di semua lapangan pekerjaan. Salah satu contoh sebagaimana yang dialami oleh artis tersohor Indonesia, Cinta Laura, ia mengaku mengalami burnout setelah tiga bulan berturut-turut syuting tanpa jeda sedikit pun. Berdasarkan hasil penelitian Future Forum, puncak tertinggi fenomena burnout dimulai pada tahun 2021. Itu artinya, semakin banyak manusia di dunia yang mengalami kejenuhan kerja. Penelitian lain menunjukkan bahwa burnout lebih sering terjadi di kelompok usia muda daripada tua.
Gambaran karakteristik penderita burnout dapat dilihat dari empat gejala. Pertama, kelelahan fisik. Mereka mengalami kekurangan energi dan merasa lelah sepanjang waktu. Selain itu, tubuh mereka juga memberikan sinyal negatif, seperti pusing, mual, susah tidur, tidak nafsu makan, sakit perut, sesak nafas, dan nyeri pinggang. Kedua, kelelahan emosional. Mereka mulai merasa tidak berdaya untuk menyelesaikan beban pekerjaan, lebih sensitif, mudah marah dan tersinggung. Ketiga, kelelahan sikap. Para penderita burnout biasanya mulai menampakkan perilaku negatif pada diri sendiri maupun partner kerja. Berangkat dari tiga gejala di atas, maka muncul gejala keempat, merasa tidak penting. Mereka beranggapan bahwa performa kerjanya sangat buruk, baik di masa lalu, masa kini, dan masa mendatang.
Penyebab Burnout
Berikut adalah beberapa hal yang disepakati oleh para peneliti menjadi faktor-faktor penyebab burnout.
- Kelebihan beban kerja. Pembagian beban kerja yang terlalu banyak ternyata dapat menjadi sumber kerentanan pekerja untuk merasakan burnout. Contoh, guru di sekolah A mempunyai tugas rangkap, yaitu sebagai guru kelas, wali kelas, bagian kesiswaan, dan pengajar ekstrakurikuler. Hal itu mengakibatkan guru menjadi tidak fokus dalam menunaikan tugas serta merasa sering dikejar deadline.
- Konflik personal. Konflik personal adalah konflik yang terjadi dalam diri individu itu sendiri, bisa diakibatkan karena keyakinan individu yang tidak sesuai dengan budaya tempat kerja atau keinginan yang tidak sesuai dengan kemampuan.
- Kemampuan koping stres. Koping stres berarti kemampuan seseorang untuk menghindari, mengurangi, dan menghilangkan stres. Seseorang yang tidak memiliki kemampuan koping stres yang baik akan rentan mengalami burnout karena stres berkepanjangan.
- Dukungan sosial. Dukungan sosial dapat berasal dari rekan kerja, keluarga, dan pimpinan pengambil kebijakan. Minimnya dukungan sosial dari salah satu di antara tiga komponen tersebut berpotensi menurunkan semangat juang pekerja.
- Pengaturan jam kerja. Pengaturan kerja sangat erat kaitannya dengan pengelolaan waktu, baik yang dilakukan oleh individu itu sendiri ataupun penjadwalan dari tempat kerja. Sistem pengaturan kerja yang ketat, kaku, dan minim istirahat dapat membuat pekerja merasakan burnout.
Cara Mengatasi Burnout
Mengamati faktor internal dan eksternal penyebab burnout, maka cara mengatasinya pun juga harus berfokus pada dua hal, individu dan organisasi (tempat kerja).
- Perubahan pada individu. Ketika memasuki dunia kerja, mau tidak mau manusia harus pandai menyesuaikan diri dengan iklim pekerjaan. Dunia kerja berbeda dengan dunia perkuliahan, lebih keras dan menuntut ketangguhan diri yang tinggi. Berbagai pelatihan dapat diikuti oleh pekerja guna meningkatkan kapasitas diri. Jika pekerja sering merasa mengalami konflik personal, maka ia dapat mengikuti pelatihan cara manajeman emosi/diri. Jika pekerja merasa belum mampu meredakan stres yang dirasakan, maka ia dapat mengikuti pelatihan koping stress secara positif. Salah satu cara agar pekerja mengetahui jenis pelatihan apa yang sebaiknya diikuti adalah dengan terlebih dahulu mengetahui penyebab ia merasakan kelelahan. Kemudian setelah itu baru memilih satu atau lebih dari strategi intervensi burnout : relaksasi, manajemen stress, pelatihan ketegasan, terapi rasional emotif, pelatihan keterampilan sosial, meditasi, manajemen konflik, dll.
- Perubahan pada tempat kerja. Burnout terjadi bukan karena faktor internal saja, namun ada kalanya karena manajemen organisasi yang kurang bijak. Oleh karena itu, pimpinan pengambil kebijakan perlu mengubah atmosfer lingkungan kerja menjadi semakin ramah dan nyaman bagi pekerja. Hal-hal yang dapat dilakukan adalah meninjau kembali pengaturan jam kerja, memberikan beban kerja sewajarnya dan sesuai dengan kemampuan pekerja, memberikan reward bagi pekerja sesuai pengorbanann yang telah diberikan kepada perusahaan sehingga pekerja merasa dihargai, dan terakhir adalah mengadakan program konsultasi dan umpan balik, kegiatan ini memberikan kesempatan kepada pekerja untuk berbagi rasa dengan pekerja lainnya sehingga dapat mengurangi beban emosi negatif dan mengembangkan harga diri yang positif.
Penulis : Relung Fajar Sukmawati
Photo by Tim Tara Winstead on Pexels