Isu kesehatan mental menjadi hal yang semakin banyak dibahas dan diperhatikan akhir-akhir ini. Masyarakat tampaknya mulai menyadari pentingnya kesehatan mental dalam lingkup kehidupan. Hal tersebut diiringi dengan penggunaan media sosial yang semakin meningkat, yang mana pada masa sekarang ini, penyebaran informasi menjadi lebih cepat melalui sosial media. Informasi apapun dari sumber manapun dapat diakses oleh semua orang. Tidak jarang, hal tersebut berujung pada maraknya fenomena self-diagnose sebagai salah satu akibat dari romantisasi gangguan mental.
Pernahkah Anda mendengar tentang romantisasi gangguan mental dan juga self-diagnose? Melalui artikel ini, kita akan membahas bersama apa itu romantisasi gangguan mental dan self-diagnose.
Apa Itu Romantisasi Gangguan Mental?
Romantisasi atau “Romanticize” dalam bahasa Inggris dapat diartikan sebagai “Membuat sesuatu tampak lebih menarik daripada yang sebenarnya”. Romantisasi Gangguan Mental dapat diartikan sebagai suatu kondisi yang membuat gangguan mental pada akhirnya tampak seperti hal yang aesthetic dan lebih menarik daripada yang sebenarnya. Tren romantisasi gangguan mental ini banyak beredar di media sosial, khususnya pada kalangan remaja dan dewasa awal. Hal ini tentu saja berkaitan dengan kemudahan akses media sosial pada kalangan tersebut. Beberapa hal yang dilakukan oleh anak muda untuk menunjukkan gangguan mental yang dimiliki, salah satunya dengan memotong rambut hingga menangis dengan diiringi lagu sedih. Tren tersebut dijadikan sebagai sarana untuk menambah followers. Lalu, apa yang menjadi penyebab dari romantisasi gangguan mental ini?
Berdasarkan penelitian oleh Vidamaly & Lee pada tahun 2021, dipaparkan bahwa terdapat tujuh mediator yang diidentifikasi sebagai kemungkinan penyebab romantisasi gangguan mental. Tujuh mediator tersebut antara lain tumblr, media, mencari perhatian, emo culture, menjadi korban (victimhood), mekanisme koping, serta awareness terhadap kesehatan mental. Dalam konteks tren di media sosial ini, tampaknya “mencari perhatian” menjadi salah satu faktor utama yang mendasarinya.
Romantisasi Gangguan Mental mungkin terdengar seperti suatu istilah baru dalam bidang kesehatan mental. Tapi di samping itu, ternyata terdapat beberapa dampak yang dapat ditimbulkan dari fenomena tersebut, antara lain :
- Romantisasi telah membalikkan upaya yang sudah dilakukan untuk menghilangkan stigma terhadap gangguan mental.
- Pandangan masyarakat tentang gangguan mental menjadi berubah, yang mana justru mengarah kepada kesalahpahaman yang lebih besar, karena adanya misrepresentasi gangguan mental. Gangguan mental yang sebenarnya, lebih kompleks daripada apa yang ditampilkan pada media sosial.
- Romantisasi gangguan mental di media sosial dapat berujung pada maraknya fenomena self-diagnose.
Selanjutnya, mari kita membahas, Apa Itu Self-Diagnose?
Dalam bermedia sosial, pernahkah Anda melihat suatu informasi tentang kesehatan mental, kemudian berpikiran bahwa “Ciri-ciri gangguan mental ini cocok sama aku, kayaknya benar aku depresi deh.” Hati-hati! Karena hal tersebut dapat menjurus pada self-diagnose. Self-diagnosis (self-diagnose) merupakan diagnosis yang dilakukan oleh diri sendiri, menganggap bahwa dirinya mengalami suatu gangguan mental berdasarkan pengetahuan sendiri atau setelah terpapar informasi tentang gangguan mental tersebut. Paparan informasi tersebut biasanya didapatkan dari internet maupun media sosial. Dewasa ini, banyak anak muda di media sosial mengaku mengalami gangguan mental, padahal kemungkinan besar hal tersebut hanya hasil dari self-diagnose. Seperti sebuah penelitian oleh Maskanah dalam JoPS: Journal of Psychology Students, yang memaparkan bahwa sebagian besar responden penelitian tersebut melakukan self-diagnose setelah melihat referensi dari media sosial dan internet.
Lantas, sebenarnya mengapa orang melakukan self-diagnose? Apa yang melatarbelakangi hal tersebut? Mari kita simak lebih lanjut!
- Banyaknya informasi tentang gangguan mental yang beredar di internet maupun sosial media yang terkadang tidak memiliki dasar ilmiah, ditambah dengan rasa ingin tahu masyarakat yang begitu tinggi dan perlu cepat dipenuhi, sehingga mayoritas orang terkadang tidak memperhatikan apakah sumber informasi tersebut kredibel atau tidak.
- Takut untuk mendatangi ahli/profesional untuk memastikan diagnosa. Hal ini disebabkan karena stigma yang ada dalam masyarakat, kendala biaya, dan lain sebagainya.
- Romantisasi gangguan mental yang sekarang menjadi tren.
Apa Dampak Self-Diagnose?
Self-diagnose cenderung mempunyai dampak negatif apabila seseorang tergesa-gesa dalam pengambilan keputusan, serta tidak menindaklanjuti hasil self-diagnose tersebut ke ahli/profesional kesehatan mental. Selain itu, aktivitas sehari-hari juga dapat terganggu oleh kecemasan yang mungkin ditimbulkan oleh self-diagnose tersebut karena seseorang meyakini kebenaran hasil dari self-diagnose yang telah dilakukan.
Bagaimana Cara Mengurangi Self-Diagnose?
- Perlu adanya edukasi tentang kesehatan mental agar masyarakat tidak mudah terpengaruh oleh tren, serta tidak mudah menelan mentah-mentah informasi yang ada sehingga menjurus pada self-diagnose
- Masyarakat perlu memastikan terlebih dahulu apakah laman atau media sosial penyedia informasi terkait kesehatan mental tersebut kredibel atau tidak.
- Melakukan konsultasi atau konseling kepada profesional apabila terdapat hal yang dirasa mengganggu kesehatan mental, sehingga tidak melakukan diagnosis yang salah.
Penulis : Chendra Kartika
Editor : Relung Fajar Skmawati
Photo by Magnus Mueller on Pexels