Pada Mei 2023, media sosial diramaikan dengan pemberitaan bahwa Indonesia menempati peringkat ketiga di dunia sebagai fatherless country. Meskipun setelah ditilik lebih lanjut tidak ada publikasi ilmiah yang jelas terkait peringkat itu, tapi fenomena ini tetap perlu mendapat sorotan karena faktanya masih banyak anak di Indonesia yang tumbuh dan berkembang tanpa figur ayah. Hal ini terbukti dari survei yang dirilis KPAI pada 2015 yang menunjukkan bahwa keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak masih tergolong kurang. Kurang dari 40% ayah yang mencari informasi terkait praktik pengasuhan anak yang baik. Praktik pengasuhan anak oleh ayah pada fase awal kehidupan anak hanya 69,9%, lebih rendah dari ibu yang sebesar 89,9%. Selain itu, banyak ayah yang ditemui kurang aktif dan inisiatif dalam berdiskusi dengan anak.
Apa sebetulnya fenomena fatherlessness ini?
Fatherlessness mengacu pada kondisi ketiadaan sosok ayah, baik ketiadaan secara fisik maupun psikologis. Istilah fatherless ini mirip dengan father absence, father hunger, ataupun father deficit. Meskipun memiliki sosok ayah, tapi anak bisa turut merasakan kondisi ini apabila ayah tidak hadir secara emosional dalam kehidupan anak. Kondisi seperti perceraian orang tua, long-distance marriage, hingga ayah yang terlalu sibuk bekerja dapat membuat anak kehilangan figur ayah. Padahal, idealnya setiap anak membutuhkan sosok ayah untuk mengawasi, membimbing, mendampingi, dan mendukung anak selama tahap perkembangannya.
Patriarki dan reduksi peran ayah
Salah satu hal yang perlu menjadi perhatian terkait fatherlessness ini adalah bahwa patriarki memainkan peranan penting terhadap pandangan masyarakat mengenai peran ayah dalam kehidupan anak. Anggapan bahwa ayah harus bekerja dan ibu lah yang mengasuh membuat banyak orang abai dengan fakta bahwa ayah juga harus aktif terlibat dalam pengasuhan anak. Untuk itu, banyak ayah yang merasa bahwa mereka peran mereka terbatas pada pemenuhan kebutuhan anak secara finansial, mereka tidak harus mendampingi anak dikarenakan itu menjadi tugas dari ibu. Anggapan yang sudah terinternalisasi sejak lama inilah yang membuat fatherlessness terus ada dan berkembang di masyarakat.
Lantas, bagaimana peran ayah terhadap perkembangan anak?
Perlu kita ketahui bahwa keterlibatan ayah dalam pengasuhan tidak hanya mencakup dukungan finansial, melainkan juga dengan melibatkan diri dalam aktivitas yang dilakukan anak, melakukan kontak secara langsung dengan anak, dan melakukan kegiatan bermain dan belajar bersama. Keterlibatan ayah juga berarti seberapa banyak usaha ayah dalam berpikir, merencanakan, merasakan, mengamati, memantau, serta mengevaluasi anak. Selain kuantitas interaksi ayah dengan anak, keterlibatan ayah juga dapat dinilai dari seberapa hangat dan responsif ayah terhadap anaknya.
Keterlibatan ayah pada perkembangan anak akan mengurangi risiko perilaku bermasalah pada anak laki-laki dan risiko gangguan psikologis pada anak perempuan. Tidak hanya itu, ayah yang aktif berinteraksi dan bermain dengan anak dapat mendorong peningkatan kemampuan sosial, emosional, dan kognitif anak. Anak juga akan memiliki keterampilan kognitif dan self-esteem yang tinggi.
Sejatinya, ayah memiliki pengaruh yang besar terhadap perkembangan anak. Cukup berbeda dengan ibu, ayah biasanya mengajarkan kebebasan dan mendorong anak untuk bereksplorasi dengan dunia luar. Ayah juga umumnya mengajarkan kedisiplinan, ketegasan, membentuk maskulinitas, serta dapat menjadi role model bagi anak. Oleh karena itu, tidak dapat dipungkiri bahwa minimnya keterlibatan ayah dalam pengasuhan berdampak buruk pada kondisi psikologis anak bahkan saat anak tumbuh dewasa. Nah, ada berbagai dampak fatherlessness, antara lain:
- Anak akan merasa marah, malu, iri, dan kesepian dikarenakan tidak bisa merasakan pengalaman bersama ayah.
- Anak akan menjadi kurang bertanggung jawab serta memiliki self-esteem dan self-control yang rendah.
- Anak dengan fatherlessness, khususnya anak laki-laki, cenderung memiliki perilaku yang bermasalah saat remaja kelak. Hal ini dikarenakan ketiadaan figur ayah membuat anak rentan terhadap kenakalan remaja, kontrol emosi yang bermasalah, dan tingkat agresivitas yang tinggi.
- Anak akan memilih teman yang bermasalah dan menjadi lebih agresif. Dikarenakan saat remaja anak akan lebih erat dengan teman sebaya, maka teman sebaya yang bermasalah tentu akan semakin meningkatkan risiko perilaku bermasalah pada anak.
- Pada anak perempuan, ketiadaan figur ayah membuat mereka mengalami ketergantungan yang berlebihan pada orang lain. Selain itu, anak perempuan menjadi lebih berisiko mengalami gangguan psikologis seperti kecemasan dan depresi.
- Saat tumbuh dewasa, kualitas persahabatan dan pernikahan pada anak dengan fatherlessness cenderung lebih rendah dibanding anak dengan keterlibatan ayah yang tinggi.
Melihat seberapa jauh dampak yang diberikan akibat hilangnya figur ayah, maka perlu ada solusi guna mengatasi fatherlessness ini. Perlu adanya edukasi terhadap masyarakat luas terkait pentingnya peran ayah terhadap perkembangan anak. Edukasi ini memerlukan kerja sama antara keluarga, lembaga pendidikan, komunitas masyarakat, lembaga sosial, hingga pemerintah. Selain itu, diperlukan juga penggalakan kelas parenting, tidak hanya bagi ibu, tapi juga ayah dengan harapan para ayah akan sadar bahwa keterlibatannya dalam pengasuhan tidak kalah penting dengan ibu. Ibu juga dapat memainkan peran dengan memberi kepercayaan penuh kepada ayah untuk turut mengasuh anak.
Ibu perlu mendorong agar ayah dapat mulai terlibat pada perkembangan anak, yang dapat dimulai dari hal-hal kecil, seperti menemani anak bermain, atau mengajak anak berbicara dan mengobrol di sela-sela kegiatan. Pada akhirnya, ibu dan ayah harus mengemban tanggung jawab bersama agar anak dapat tumbuh dan berkembang dengan baik.
Penulis : Shafa Salsabilla
Editor : Relung Fajar Sukmawati
Photo by Dominika Roseclay on Pexels