Menikah adalah suatu keputusan besar dan tidak mudah bagi seseorang karena tujuannya yang kompleks yakni untuk menggabungkan dua kehidupan individu menjadi satu kesatuan yang harmonis. Dalam perjalanannya, saat menikah nanti individu akan dipenuhi dengan kebahagiaan sekaligus tantangan mengingat menikah adalah komitmen yang melibatkan berbagai aspek, mulai dari cinta dan kasih sayang hingga kerja sama dan pengertian yang mendalam.
Pada kenyataannya, persiapan pernikahan seringkali terfokus pada aspek teknis seperti acara, bridesmaid, gaun, undangan, bahkan lokasi bulan madu. Padahal ada hal-hal yang harus diperhatikan untuk keintiman dan kesejahteraan jangka panjang kedua individu. Salah satunya adalah persiapan psikologis yang perlu diperhatikan dan akan berpengaruh terhadap kualitas rumah tangga ke depannya nanti. Menurut penelitian Itryah dan Ananda, salah satu faktor penyebab perceraian yakni situasi ketidaksiapan dalam membangun rumah tangga yang akan mengakibatkan perselisihan dan berujung perceraian. Oleh karena itu, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan saat berumah tangga, maka diperlukan langkah-langkah persiapan mental ketika akan menikah.
- Langkah awal dan yang paling krusial yakni mengembangkan tingkat pemahaman diri yang mendalam, atau yang biasa disebut sebagai self-awareness. Self-awareness melibatkan pengenalan dan pemahaman yang mendalam tentang diri sendiri, termasuk kekuatan, kelemahan, nilai-nilai, harapan, dan tujuan hidup. Melalui self-awareness, seseorang dapat mengidentifikasi aspek-aspek dalam dirinya yang dapat menjadi kontributor positif atau bahkan penghambat dalam hubungan pernikahan. Contohnya, seseorang dengan hati lembut mungkin mudah terluka oleh komentar atau tindakan yang dianggap kasar atau kurang peka. Sensitivitas ini bisa menyebabkan konflik jika tidak dikelola dengan baik. Dengan self-awareness, individu dapat menyadari kecenderungan ini dan berusaha untuk mengkomunikasikan perasaan mereka dengan pasangan secara konstruktif.
- Memperbaiki keterampilan komunikasi. Dalam pernikahan dibutuhkan komunikasi asertif. Sebuah temuan menjelaskan bahwa ditemukan dampak positif saat mengimplementasikan komunikasi asertif dalam konflik rumah tangga, dengan komunikasi asertif tidak ada lagi istilah arogan ataupun ingin menang sendiri saat berselisih paham dengan pasangan. Hal ini didukung oleh penelitian lain yang berkesimpulan bahwa komunikasi asertif mempunyai kontribusi positif terhadap perubahan keharmonisan pernikahan. Komunikasi asertif ini meliputi kemampuan untuk mendengarkan secara aktif, mengungkapkan perasaan dan pikiran dengan jujur, serta menyelesaikan konflik dengan cara yang konstruktif sangat diperlukan dalam pernikahan. Tanpa komunikasi yang asertif, kesalahpahaman dan ketegangan bisa dengan mudah merusak keharmonisan hubungan. Selain itu, keterampilan komunikasi membantu pasangan untuk saling memahami dan mendukung satu sama lain dalam situasi sulit.
- Kesiapan dalam mengelola konflik dan emosi dengan baik. Menikah berarti bersedia untuk menghadapi berbagai tantangan bersama pasangan. Ini termasuk kemampuan untuk mengelola emosi dengan baik, tidak hanya saat senang, tetapi juga dalam situasi stres atau konflik. Kemampuan untuk tetap tenang dan berpikir jernih dalam menghadapi masalah dapat membantu pasangan menemukan solusi yang tepat dan menjaga keharmonisan hubungan. Kesiapan emosional juga berarti memahami dan menerima perasaan pasangan, serta memberikan dukungan emosional yang dibutuhkan. Hal ini sejalan dengan penelitian oleh Nurpratiwi bahwa kepuasan pernikahan pada usia dewasa awal dapat meningkat melalui kematangan emosi.
- Kesiapan dalam mengontrol ekspektasi yang realistis untuk menghindari kekecewaan. Banyak orang memasuki pernikahan dengan ekspektasi tinggi yang tidak realistis, mengharapkan kebahagiaan tanpa henti dan kehidupan yang sempurna. Padahal, kebahagiaan adalah sesuatu yang diciptakan bukan dicari dari individu lain karena setiap hubungan pasti akan mengalami pasang surut. Dengan memiliki ekspektasi yang realistis, pasangan dapat lebih mudah menerima kekurangan dan kelemahan satu sama lain, serta bekerja sama untuk mencapai kebahagiaan yang sejati.
- Memiliki dukungan sosial dari keluarga dan teman-teman juga memberikan rasa aman dan kenyamanan emosional. Dalam buku Sarafino disebutkan bahwa dukungan sosial memberikan jaringan kebutuhan dan bantuan praktis atau emosional, instrumental maupun informasi yang dapat bersumber dari orang tua, sahabat, kelompok organisasi maupun profesional. Memiliki jaringan dukungan sosial yang kuat dapat menjadi sumber bantuan saat menghadapi tantangan pernikahan. Keluarga dan teman-teman bisa memberikan perspektif yang berbeda, nasihat yang bijaksana, dan dukungan moral yang sangat dibutuhkan dalam masa-masa sulit. Dengan adanya dukungan sosial, individu akan lebih mampu menghadapi berbagai perubahan, tuntutan, dan stress dalam pernikahan.
Pernikahan yang berhasil memerlukan lebih dari sekadar cinta dan romansa melainkan membutuhkan komitmen terhadap pertumbuhan bersama. Seperti sepasang penari yang terus menyelaraskan langkah mereka, pasangan yang memahami diri sendiri dan satu sama lain akan mampu membangun pondasi kokoh untuk menghadapi setiap irama kehidupan. Mengembangkan ekspektasi yang realistis dan kesiapan psikologis yang matang adalah kunci untuk menciptakan harmoni yang sehat, bahagia, dan penuh makna.
Ketika pasangan bersedia untuk belajar dan beradaptasi bersama, mereka menciptakan sebuah hubungan yang berkembang dan kuat. Melalui komitmen terhadap pertumbuhan bersama, pasangan tidak hanya dapat mengatasi badai, tetapi juga merayakan sinar matahari yang mereka ciptakan bersama. Dengan setiap tantangan yang dihadapi dan diatasi bersama, pernikahan akan semakin kokoh, menjadikannya perjalanan hidup yang indah dan penuh arti, seperti lukisan yang semakin sempurna dengan setiap sapuan kuas.
Penulis : Regizki Maulia
Photo by Terje Sollie on Pexels