Krisis Psikologis di Masa Dewasa Awal
Beberapa tahun terakhir, berita tentang mahasiswa yang mengalami depresi hingga bunuh diri semakin sering terdengar. Tekanan akademik, tuntutan sosial, serta kesepian di perantauan membuat banyak anak muda terjebak dalam perasaan tidak berharga dan kehilangan arah hidup. Survei nasional menunjukkan bahwa remaja dan dewasa muda di Indonesia memiliki risiko dua kali lebih tinggi untuk melakukan perilaku menyakiti diri dibandingkan dengan orang dewasa. Fenomena ini menjadi perhatian serius bagi dunia pendidikan dan kesehatan mental. Namun, di tengah situasi yang mengkhawatirkan ini, muncul sebuah pendekatan terapi yang menjanjikan, yakni Empathic Love Therapy (ELT), metode psikoterapi yang berfokus pada kasih sayang, penerimaan diri, dan pencarian makna hidup yang baru.
Apa Itu Empathic Love Therapy?
Empathic Love Therapy merupakan bagian dari pendekatan psikosintesis yang dikembangkan oleh psikolog Italia, Roberto Assagioli. Tujuan utamanya adalah membantu individu mengenali dan menyatukan berbagai aspek dirinya, termasuk luka batin, peran sosial, dan potensi spiritual, agar tumbuh menjadi pribadi yang utuh.
Berbeda dengan terapi kognitif atau perilaku yang berfokus pada pengubahan pikiran negatif, ELT menekankan pentingnya kasih sayang terhadap diri sendiri. Melalui latihan visualisasi, relaksasi, dan refleksi, individu diajak untuk menerima sisi dirinya yang terluka serta membangun kekuatan batin dari dalam.
Penelitian yang dilakukan oleh Leonardus Edwin Gandawijaya dan Kwartarini Wahyu Yuniarti dari Universitas Gadjah Mada menunjukkan efektivitas pendekatan ini. Hasil studi mereka membuktikan bahwa ELT secara signifikan mampu menurunkan gejala depresi dan kecemasan pada mahasiswa yang memiliki kecenderungan untuk menyakiti diri.
Bagaimana Penelitian Ini Dilakukan?
Penelitian ini melibatkan tujuh mahasiswa berusia 17–30 tahun di Yogyakarta. Mereka menjalani delapan sesi terapi kelompok selama lima hari berturut-turut di Puskesmas Gondokusuman 1. Sebelum dan sesudah terapi, tingkat depresi dan kecemasan diukur menggunakan kuesioner untuk mengukur gejala kecemasan dan depresi yakni Patient Health Questionnaire Anxiety and Depression Scale (PHQ-ADS). Hasil analisis menunjukkan adanya penurunan skor yang signifikan setelah terapi. Rata-rata skor sebelum terapi sebesar 34,1 yang termasuk dalam kategori sedang–berat, menurun menjadi 20,6 setelah terapi yang berada pada kategori ringan. Uji statistik menunjukkan hasil t(6) = 4,73 dengan nilai p < 0,01, yang berarti penurunan tersebut signifikan secara statistik.
Selain pengukuran angka, peneliti juga mengumpulkan pengalaman emosional peserta selama terapi melalui diskusi kelompok. Hasilnya mengungkap banyak hal menarik tentang dinamika psikologis mahasiswa masa kini, yang akan dijelaskan lebih lanjut pada bagian berikutnya.
Apa yang Dirasakan Para Peserta?
Dari hasil wawancara, muncul empat tema besar tentang tantangan emosional yang dialami para peserta:
- Kesepian dan pikiran negatif saat sendiri. Banyak peserta tinggal jauh dari keluarga, merasa tidak punya tempat berbagi, hingga muncul pikiran menyakiti diri.
- Sulit melepaskan kesedihan. Mereka sadar perlu berubah, tetapi sulit memaafkan diri sendiri dan berhenti merasa gagal.
- Produktivitas terganggu. Tugas kuliah terbengkalai, organisasi terbengkalai, motivasi belajar menurun.
- Kehilangan arah hidup. Beberapa hanya menjalani kehidupan sesuai harapan orang tua tanpa tahu apa yang benar-benar mereka inginkan.
Selama mengikuti ELT, para peserta dilatih untuk mengenali bagian diri yang terluka, berbicara dengan “sub personalitas” di dalam diri (seperti sisi yang takut, marah, atau kecewa), dan belajar mencintai diri tanpa syarat. Di akhir sesi, sebagian besar peserta mengaku lebih tenang, lebih bisa memaafkan diri, dan mulai berani menulis kembali rencana hidup mereka. Salah satu peserta bahkan berkata:
“Ternyata memaafkan diri sendiri juga bentuk cinta. Dan dari situ, saya mulai bisa bernapas lagi.”
Mengapa ELT Efektif?
Ada tiga alasan utama mengapa Empathic Love Therapy bekerja dengan baik pada mahasiswa dan dewasa muda:
- Disidentifikasi. Peserta belajar memisahkan diri dari pikiran negatif “Aku bukan rasa gagal itu” dan mulai melihat diri dari perspektif yang lebih sehat.
- Kasih sayang dan penerimaan diri. ELT menumbuhkan cinta yang datang dari dalam diri, sehingga individu tak lagi berperang dengan dirinya sendiri.
- Dukungan kelompok. Lingkungan kelompok yang empatik membuat peserta merasa diterima dan didengarkan, yang menjadi fondasi penting dalam pemulihan.
Pendekatan ini menggabungkan dimensi psikologis dan spiritual, membangun keseimbangan antara pikiran, emosi, dan makna hidup. Bagi mahasiswa yang sedang mencari jati diri, pendekatan ini membantu mereka menemukan harapan baru.
Tantangan dan Harapan
Penelitian ini memang masih berskala kecil, hanya melibatkan tujuh peserta. Dua di antaranya menunjukkan kemajuan yang lebih lambat karena kesulitan membuka diri. Selain itu, hasil penelitian juga bersifat jangka pendek karena belum dilakukan tindak lanjut setelah terapi berakhir.
Meski begitu, temuan ini memberikan harapan baru bagi dunia psikologi Indonesia. Empathic Love Therapy terbukti efisien dan terjangkau, terutama bagi layanan kesehatan primer seperti puskesmas, yang sering menjadi tempat pertama masyarakat mencari bantuan.
ELT juga bisa diintegrasikan dalam program konseling kampus, komunitas, atau pusat kesehatan mental mahasiswa. Terapi ini tidak membutuhkan alat khusus hanya ruang aman, bimbingan psikolog, dan niat untuk saling mendengarkan dengan empati.
Membangun Generasi yang Sembuh dan Berdaya
Orang-orang dewasa muda sering disebut sebagai generasi penuh potensi, namun di balik semangat eksplorasi mereka tersimpan tekanan besar yang sering tak terlihat. Empathic Love Therapy membantu mereka menemukan kembali makna, cinta, dan harapan di tengah badai kehidupan. Lebih dari sekadar teknik terapi, ELT adalah gerakan empati sebuah ajakan untuk melihat diri dengan kasih, bukan dengan penilaian. Kesehatan mental bukan hanya soal “menyembuhkan yang sakit”, tapi juga tentang membangun budaya saling memahami dan mendukung. Di masyarakat yang terbiasa menuntut kesempurnaan, belajar berempati pada diri sendiri bisa menjadi bentuk revolusi kecil menuju kesejahteraan bersama.
Penulis : Regizki Maulia
A Photo by Kampus Production at Pexels.com