Masa kanak-kanak merupakan periode yang paling penting dalam perkembangan sepanjang rentang hidup manusia. Anak-anak membutuhkan lingkungan yang aman dan stabil, termasuk dukungan orang tua secara konsisten dalam memenuhi kebutuhan dasar dan membantu mereka mengenal dunia. Anak yang tumbuh dengan pengasuh yang konsisten akan merasa aman dan mengembangkan konsep diri yang sehat. Namun sebaliknya, anak yang tumbuh dalam lingkungan tidak stabil atau penuh tekanan akan lebih rentan mengalami stres berlebihan dan masalah psikologis di kemudian hari. Pengalaman pada masa kanak-kanak hingga usia 18 tahun yang menyebabkan stres dan trauma disebut dengan Adverse Childhood Experience atau ACEs.
Apa yang dimaksud dengan ACEs dan apa saja dampaknya?
Pengalaman masa kecil yang buruk (ACEs) seperti sering dimarahi, diremehkan, atau ditolak oleh orang tua, kemungkinan berdampak hingga ia dewasa. Misalnya, akan merasa kesulitan membangun hubungan yang aman dengan orang lain, mengalami perubahan suasana hati yang ekstrem, dan gangguan pola makan. ACEs tidak hanya berpengaruh terhadap emosi dan perilaku, tetapi juga berdampak negatif pada perkembangan otak dan kondisi neurobiologis, misalnya menyebabkan ketidakseimbangan hormon kortisol, yaitu hormon yang berperan penting dalam respons tubuh terhadap tekanan atau stres. Pengalaman traumatik yang diakibatkan oleh pengalaman masa kecil memiliki berbagai dampak negatif. Oleh karenanya, apabila mengalami trauma, seseorang tidak bisa hanya ‘melupakan’ pengalaman tersebut, tetapi perlu membangun kembali cara pandang menjadi kesempatan untuk tumbuh, belajar, dan menemukan makna baru dalam hidup.
Perubahan Positif Setelah Mengalami Pengalaman Traumatis
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa individu dapat mengalami pertumbuhan positif setelah melewati pengalaman traumatis, yang dikenal dengan posttraumatic growth (PTG). PTG merupakan perubahan psikologi secara positif yang terjadi setelah seseorang berhasil mengatasi pengalaman traumatis. PTG dapat memperluas cara seseorang berpikir, merasakan, dan berperilaku, serta membantu mereka membangun kembali pandangan terhadap kehidupan (Blevins & Tedeschi, 2022). PTG terdiri dari lima dimensi, yaitu kekuatan pribadi (personal strength), kemungkinan baru (new possibilities), hubungan dengan orang lain (relating to others), perubahan spiritual (spiritual change), dan kemampuan untuk menghargai kehidupan (appreciation of life).
Upaya membangun PostTraumatic Growth dengan Forgiveness Therapy
Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan pertumbuhan positif setelah mengalami trauma seseorang atau PTG adalah melalui psikoterapi pendekatan kognitif-perilaku (Cognitive Behavior Therapy). Menurut Roepke (2015), intervensi melalui terapi pendekatan kognitif-perilaku yang berupa terapi kognitif (cognitive therapy), terapi paparan (exposure therapy), terapi menulis ekspresif (expressive writing therapy), dan terapi manajemen stres (stress management training). Intervensi tersebut bertujuan membantu individu mengatasi trauma, menemukan makna baru, serta memperkuat aspek positif dalam diri, yang merupakan inti dari posttraumatic growth.
Terapi pemaafan atau forgiveness therapy telah banyak dilakukan pada beberapa studi. Artikel ini mengutip paper yang berjudul “Forgiveness Therapy to Enhance Posttraumatic Growth in Individuals with Adverse Childhood Experiences” pada tahun 2025. Penelitian ini dilakukan oleh Dita Permata Aditya dan Muhana Sofiati Utami yang bertujuan untuk mengetahui efektivitas terapi pemaafan (forgiveness therapy) dalam meningkatkan posttraumatic growth (PTG) pada individu yang memiliki pengalaman masa kecil yang buruk (Adverse Childhood Experiences/ACEs). Penelitian ini melibatkan 16 partisipan muda yang dibagi kedalam dua kelompok, yaitu kelompok kontrol yang tidak mendapat terapi pemaafan dan kelompok eksperimen yang mendapat terapi pemaafan, dengan masing-masing kelompok terdiri dari 8 partisipan. Hasil penelitian tersebut menyebutkan bahwa terapi pemaafan atau forgiveness therapy berhasil meningkatkan pertumbuhan pasca trauma secara signifikan. Hal ini diketahui berdasarkan adanya perubahan skor antara waktu pengukuran pre-test, post test 1 dan post test 2.
Adapun tahapan terapi pemaafan ini terbagi menjadi empat tahapan. Tahap pertama adalah regulasi emosi menggunakan teknik relaksasi. Teknik ini mampu membantu partisipan merasa lebih tenang dan rileks, serta memungkinkan mereka melihat situasi secara objektif. Selain itu, teknik relaksasi juga berperan dalam mengurangi kecenderungan untuk menghindari hal-hal yang memicu emosi maupun ingatan yang traumatis. Tahapan kedua, adalah self-disclosure atau keterbukaan diri. Self disclosure membantu membuka perasaan dan pikiran yang tersembunyi pada individu serta mendorong individu untuk mendapatkan insight terhadap permasalahan dan solusi dari permasalahan tersebut. Lebih lanjut, proses keterbukaan diri dapat mengurangi beban emosional yang muncul dari pengalaman traumatis, memperkuat kemampuan berpikir reflektif, dan membantu individu menemukan makna dari peristiwa tersebut. Proses untuk keterbukaan diri dapat dilakukan dengan beberapa media seperti bercerita, menulis, dan art therapy. Tahapan ketiga terapi pemaafan adalah teknik reframing atau mengubah cara berpikir. Teknik ini membantu partisipan dalam mengurangi pikiran negatif tentang “mengapa” mereka mengalami ini menjadi melihat diri mereka lebih positif dan meningkatkan self-confidence. Terakhir, tahap keempat merupakan penerimaan dukungan melalui interaksi antar anggota dalam kelompok terapi. Rasa kebersamaan dan dukungan sosial yang terbentuk membantu partisipan menyadari bahwa mereka tidak menghadapi permasalahan ini seorang diri, sekaligus memperkuat relasi sosial serta menumbuhkan motivasi untuk menerapkan pola asuh yang lebih sehat di masa depan.
Penulis : Ikke Pradima Sari (Magister Psikologi Minat Mind, Brain, and Performance)
A Photo by RDNE Stock project at Pexels.com