Pernah berdiri lama di depan cermin, lalu terus-menerus memikirkan satu atau beberapa ‘cacat’ di tubuhmu yang orang lain bahkan tidak melihat? Rasa tidak puas itu bisa tumbuh menjadi obsesi, hingga membuat hidup seolah hanya berputar pada kekurangan tersebut. Jika hal itu mulai mengganggu keseharianmu, waspadalah, karena itu bisa menjadi tanda Body Dysmorphic Disorder (BDD). Body Dysmorphic Disorder (BDD) dikarakteristikkan sebagai kekhawatiran berlebihan terhadap 1 atau lebih ‘cacat’ di tubuh yang seringkali tidak disadari orang lain. Menurut penelitian, sebanyak 1.9% hingga 2.2% mengalami kondisi ini, dan sebanyak 24 – 28% orang di antaranya pernah melakukan percobaan bunuh diri (suicide).
Mengenal ERP
Salah satu terapi yang terbukti efektif dalam menangani Body Dysmorphic Disorder (BDD) adalah Exposure and Response Prevention (ERP). Terapi ini merupakan salah satu bagian dari pendekatan Cognitive Behavioral Disorder (CBT), yang membantu individu menghadapi hal-hal yang memicu ketakutan, bersamaan dengan mengendalikan dorongan perilaku kompulsif berulang. Efektivitas ERP ini telah didukung oleh banyak penelitian, termasuk tinjauan sistematis dan meta-analisis yang komprehensif oleh Harrison dan timnya pada tahun 2016, yang menunjukkan bahwa ERP adalah salah satu pendekatan terbaik untuk BDD.
Kisah Nyata dari Indonesia.
Penelitian yang dilakukan oleh Adelheid, Ramadhani, Novrianto, dan Jaya melaporkan tiga kasus Body Dysmorphic Disorder (BDD) di Indonesia sekaligus menggambarkan bagaimana terapi Exposure and Response Prevention (ERP) dapat membantu proses pemulihan pasien. Ketiganya memiliki kekhawatiran berlebihan terhadap penampilan fisik mereka, yang memicu perilaku berulang yang mengganggu kehidupan sehari-hari. Berikut uraian kondisi tiga pasien dengan BDD.
- Tono (44 tahun): Mengalami BDD sejak 8 tahun. Ia terobsesi dengan simetri wajahnya, yang membuat Tono menghabiskan waktu 12 jam/hari untuk bercermin dan meminta validasi dari orang sekitarnya. Akibatnya, Tono menarik diri dari keluarga dan pekerjaannya.
- Susi (35 tahun): Berawal dari takut terlihat jelek dan gendut, kekhawatirannya merambat ke kondisi hidung, gigi, rambut, dan kulit. Susi menghabiskan 8 jam/hari untuk bercermin dan melakukan kunjungan ke klinik kecantikan setiap hari yang berdampak pada pekerjaannya.
- Mawar (26 tahun): Meskipun memiliki berat badan normal, ia meyakini bahwa dirinya tidak menarik dan kelebihan berat badan. Ia menjalani diet ekstrim 500 kalori/hari dan menolak dukungan dari teman-temannya, hal itu berdampak pada aktivitas sosial dan pekerjaannya.
Prosedur Terapi ERP
Ketiga pasien ini menjalani terapi ERP secara daring dan tatap muka di sebuah klinik psikoterapi di Jakarta. Terapi ini dimulai dengan menyusun daftar ketakutan pasien, dari yang paling rendah ke paling tinggi. Pasien kemudian diajak menghadapi ketakutan paling ringan secara bertahap. Tujuannya agar mereka terbiasa dan rasa cemasnya berkurang, sebelum akhirnya melanjutkan ke ketakutan yang lebih tinggi. Perilaku kompulsif berulang dikurangi secara bertahap dan bukan dihilangkan secara tiba-tiba. Dalam prosesnya, pasien dibimbing untuk mengenali pola pikir dan perilaku yang memperkuat obsesi serta kekhawatiran terhadap tubuh mereka, lalu menggantinya dengan cara berpikir yang lebih adaptif dan penuh penerimaan terhadap diri. Terapi ini dirancang secara kolaboratif antara terapis dan pasien, dengan menyesuaikan intensitas serta bentuk latihan agar realistis dan bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
Hasil Penelitian
Hasil menunjukkan penurunan dalam skor BDD-YBOCS pre-test dan post-test pada ketiga pasien. Frekuensi mirror checking pada Tono dan Mawar mengalami penurunan, dan Susi menghentikan diet ekstrem disertai dengan berkurangnya rasa khawatir yang berlebihan yang mengganggu sosialnya. Pada awalnya, para pasien tidak menyadari bahwa gejala yang mereka alami disebabkan oleh Body Dysmorphic Disorder (BDD) dan tanpa sadar melakukan perilaku kompulsif yang justru memperburuk gejala tersebut. Pada akhir sesi, Susi dan Mawar mencapai remisi penuh dari BDD, sementara Tono masih dalam proses pemulihan.
Diantara ketiga pasien, Mawar menunjukkan kemajuan yang pesat daripada 2 pasien lainnya. Hal ini kemungkinan terjadi dikarenakan Mawar mendapatkan penanganan lebih awal. Temuan ini menunjukkan pentingnya penanganan dini, semakin cepat individu mencari bantuan profesional, peluang untuk pulih akan semakin besar.
Mengapa penting untuk dibicarakan dan diteliti?
Sayangnya, BDD masih jarang dikenal di Indonesia, padahal banyak orang mungkin mengalaminya tanpa sadar dan terlambat mendapatkan bantuan yang tepat. Penelitian ini menunjukkan bahwa seperti gangguan mental lainnya, Body Dysmorphic Disorder (BDD) nyata dan dapat terjadi pada siapa saja. Meskipun penelitian ini tidak menyoroti jumlah kasus pasien BDD, hasilnya memberikan kontribusi penting dalam menunjukkan efektivitas terapi psikologis, khususnya Exposure and Response Prevention (ERP).
Jika kamu atau individu yang kamu kenal yang mungkin sedang bergulat dengan obsesi dan kekhawatiran berlebihan terkait penampilan fisik, mencari bantuan profesional adalah langkah penting. Pemulihan dari pikiran yang mengganggu tentang diri sendiri sangatlah mungkin dengan penanganan yang tepat.
Penulis : Nur Amalina Naada Sabrina
A Photo by Andrea Piacquadio ar Pexels.com