Para politisi seringkali menggunakan berbagai cara untuk memenangkan suara selama kampanye pemilihan umum. Beberapa di antaranya mencakup pemanfaatan popularitas partai dan pemimpin, representasi diri sebagai pelindung identitas nasional dan bahkan keberagamaan, serta membentuk koalisi dengan partai lain. Para aktor politik sering kali didorong oleh motivasi untuk meningkatkan elektabilitas mereka di hadapan masyarakat untuk memimpin masyarakat ke arah tertentu.
Namun, dalam sebagian besar negara demokrasi, politik merupakan hal yang komprehensif karena melibatkan aktor politik maupun warga negara yang memainkan peran penting dalam memilih politisi untuk menduduki jabatan pemerintahan. Oleh sebab itu, penyelesaian permasalahan sosial menjadi tujuan bersama. Sebuah pertanyaan muncul tentang bagaimana warga negara dan politisi membentuk keputusan politik yang penting. Bidang psikologi politik memiliki berbagai pendekatan untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Salah satu pendekatan yang digunakan adalah pendekatan kognitif. Pendekatan kognitif mempelajari mekanisme kognitif seperti persepsi dan bias untuk memahami perilaku politik. Kognisi politik merupakan bidang yang relatif baru serta melibatkan penggunaan konsep psikologi kognitif, seperti bias, heuristik, dan pemprosesan informasi, untuk mengevaluasi fenomena politik, seperti perilaku pemilih, perilaku partai politik, pembentukan kebijakan, dan kecenderungan ideologis. Menarik untuk dilihat bagaimana mekanisme kognitif tersebut muncul dalam budaya politik yang beragam, yang ditentukan oleh cara pemerintahan suatu negara dan struktur sosial masyarakatnya.
Terdapat berbagai bentuk pemerintahan, seperti demokrasi, monarki, dan autokrasi. Indonesia merupakan salah satu negara demokrasi multipartai. Oleh sebab itu, meskipun Indonesia menganut sistem pemerintahan presidensial, di negara ini juga terjadi aktivitas politik yang signifikan, di mana para politisi dari pemerintah yang berkuasa merancang kebijakan-kebijakan utama dan kebijakan-kebijakan tersebut didiskusikan secara mendalam oleh para anggota parlemen.
Akibat dari sistem politik tersebut, jelas bahwa para politisi memiliki peran penting dalam memengaruhi masyarakat. Ketika terdapat kesenjangan yang besar antara keputusan politisi dan kebutuhan warga negara, dapat terjadi konsekuensi berbahaya bagi demokrasi. Oleh sebab itu, penting untuk memahami cara berpikir pemerintah dan warga negara, karena hal tersebut berpengaruh secara langsung terhadap perumus kebijakan.
Bias kognitif merupakan kesalahan dalam cara berpikir yang menyimpang dari pemikiran rasional. Bias tersebut seringkali dapat mempengaruhi keputusan dalam kehidupan sehari-hari, seperti dalam perilaku investasi yang hanya mempertimbangkan popularitas platform. Dalam perilaku politik, sering dijumpai kelompok yang melibatkan masyarakat dan calon pejabat yang begitu fanatik mendukung partai politik mereka. Beberapa bias kognitif yang sering diteliti dalam perilaku politik seperti bandwagon effect, confirmation bias, in-group favouritism, dan negativity bias.
Sebuah penelitian meneliti kecenderungan pola pikir yang mempengaruhi pilihan politik dan ideologi politik di antara anggota partai politik sayap kiri dan sayap kanan ekstrem di India. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anggota partai politik menunjukkan empat jenis kecenderungan pola pikir yang telah disebutkan di atas untuk memenangkan pemilihan umum. Dengan demikian, bias dalam pemprosesan informasi berperan dalam pengambilan keputusan politik di kalangan individu dengan afiliasi politik tertentu.
Penelitian lain menyoroti hubungan antara orientasi ideologis dan sumber daya kognitif seperti attention span yang pendek, pemprosesan informasi yang terbatas, dan mental rigidity. Sebagian orientasi ideologis seperti konservatisme atau sikap yang condong ke sayap kanan telah didapati berhubungan dengan pemprosesan informasi yang kurang efisien dan sikap yang aversif terhadap pengambilan risiko sosial.
Sikap politik lain seperti rasa nasionalisme yang kuat juga terkait dengan penurunan skor dalam tugas yang berhubungan dengan memori serta kemampuan fleksibilitas kognitif atau kemampuan untuk beradaptasi dengan informasi baru. Temuan-temuan tersebut menunjukkan perkembangan baru dalam bidang kognisi politik. Namun, para akademisi juga telah menunjukkan temuan yang berlawanan, yang menunjukkan bahwa bukan hanya orientasi ekstrem sayap kanan, tetapi juga orientasi ekstrem sayap kiri juga berhubungan dengan penurunan performa dalam tugas kognitif.
Temuan penelitian tersebut sangat penting untuk memahami bagaimana keputusan politik dibuat, sistem kepercayaan, dan aspek kognitifnya. Selain itu, penelitian berbasis psikologi kognitif tersebut dapat digunakan sebagai prediktor penting untuk keputusan politik dan kebijakan para politisi dalam mengelola pemerintahan. Temuan penelitian tersebut juga membuka peluang untuk penelitian dalam bidang psikologi politik, tidak hanya melibatkan masyarakat umum, tetapi juga melibatkan aktor-aktor politik.
Temuan dari beberapa penelitian yang dilakukan di berbagai negara menunjukkan bahwa terdapat hubungan signifikan antara ideologi politik dengan bagaimana individu merespons informasi positif dan negatif. Penelitian-penelitian sebelumnya cenderung fokus pada budaya politik Barat, sehingga untuk mendapatkan kesimpulan yang lebih pasti, dibutuhkan lebih banyak penelitian dengan melibatkan budaya politik lokal, termasuk budaya politik di Indonesia, sehingga dapat membantu untuk menemukan kesamaan lintas budaya dalam cara individu membuat keputusan politik berdasarkan pemahaman kognitif mereka.
Kesimpulannya, penting bagi kita untuk memahami hubungan antara ideologi politik dan mekanisme kognitif dalam pengambilan keputusan politik. Berbagai temuan penelitian menunjukkan bahwa bias kognitif dan orientasi ideologis memainkan peran penting dalam cara individu merespons informasi politik. Hasil penelitian menyoroti pengaruh orientasi politik terhadap pemprosesan informasi, memori, dan kemampuan fleksibilitas kognitif. Namun, temuan tersebut juga menunjukkan bahwa tidak hanya orientasi politik sayap kanan atau kubu pro-pemerintah yang berpengaruh, tetapi juga orientasi sayap kiri atau kubu oposisi dalam pengambilan keputusan politik.
Sebagai tindak lanjut, khususnya untuk menyambut pemilihan umum pada 14 Februari 2024 mendatang, dibutuhkan adanya pendidikan politik yang lebih baik dan inklusif untuk membantu individu menjadi lebih sadar akan bias kognitif mereka dan bagaimana orientasi ideologis dapat mempengaruhi pengambilan keputusan politik. Hal tersebut dapat membantu meningkatkan pemahaman masyarakat tentang proses politik. Selain itu, aktor politik, termasuk politisi perlu meningkatkan kesadaran akan peran mereka dalam mempengaruhi masyarakat. Mereka harus bertanggung jawab dalam menyediakan informasi yang akurat dan berfokus pada kepentingan masyarakat, bukan hanya pada pertimbangan ideologis atau politik.
Penulis : Muhammad Iqbal Fakhrul Firdaus
Photo by Element5 Digital on Pexels