Bunuh diri menjadi salah satu isu penting dalam kesehatan mental dunia. Pada tahun 2023, WHO mencatat terdapat 700.000 orang meninggal tiap tahunnya. Angka prevalensi tersebut juga didukung hasil penelitian yang menunjukkan bahwa di antara enam anggota keluarga dan 135 anggota komunitas memiliki potensi satu anggota yang melakukan bunuh diri. Tingginya angka tersebut tentu menjadi kekhawatiran bagi masyarakat global. Namun dampak dari tindakan bunuh diri tersebut ternyata juga memberikan konsekuensi besar bagi keluarga terdekat dan orang-orang di sekitarnya.
Konsekuensi tersebut berupa duka atau kesedihan yang mendalam bagi orang-orang yang ditinggalkan. Fenomena tersebut disebut dengan suicide bereavement. Kondisi ini memunculkan perasaan duka atas peristiwa kehilangan seseorang yang disebabkan oleh bunuh diri. Biasanya reaksi duka yang dimunculkan adalah perasaan bersalah, ingin bertanggung jawab atas kematiannya, dan malu. Perasaan ini juga masih dibebani oleh stigma-stigma negatif dari masyarakat atas kedukaannya. Pengalaman duka ini justru masih jarang mendapat perhatian dari pihak-pihak di bidang klinis dan terapis kesehatan mental. Jika korban suicide bereavement ini tidak mendapat penanganan yang tepat, maka akan ada potensi meningkatnya kemunculan masalah kesehatan mental yang persisten. Masalah kesehatan mental tersebut berupa depresi, PTSD (Post Traumatic Syndrome Disorder), dan prolonged grief disorder.
Berdasarkan pentingnya penanganan bagi korban yang mengalami suicide bereavement, penelitian Adelia Khrisna Putri, Hoffman dan tim penelitian (2024) mencoba melakukan tinjauan literatur untuk mengenali bentuk-bentuk penanganan yang efektif bagi individu yang mengalami suicide bereavement. Penelitian ini menggunakan metode metareview untuk memenuhi tujuan penelitian tersebut. Metareview adalah metode sintesis literatur yang bertujuan untuk melakukan tinjauan ulang terhadap sekumpulan artikel tinjuan sistematis yang memiliki pertanyaan penelitian pada area topik yang sama (Cocharane et al., 2019). Metareview ini menemukan 11 artikel yang layak dan sesuai dengan kriteria inklusi dan ekslusi untuk ditinjau.
Temuan metareview ini dikelompokkan ke dalam beberapa tema yaitu struktur dan isi intervensi yang diberikan, fasilitator/pemberi dukungan, dan modalitas intervensi (peer, grup, komunitas, online). Berdasarkan temuan, intervensi efektif yang diberikan berupa psikoedukasi, konsistensi intervensi, dan struktur intervensi yang jelas serta melalui buku manual intervensi. Melalui psikoedukasi, intervensi dapat memberikan wawasan atau informasi mengenai fenomena berduka dan kehilangan akibat bunuh diri. Intervensi ini dianggap efektif karena membantu orang yang sedang berduka untuk memahami proses kesedihan mereka, sehingga lebih mampu menilai, menerima, dan memproses kehilangan (Andriessen et al., 2019; Szumilas & Kutcher, 2011). Selanjutnya, intervensi yang efektif diwujudkan dalam bentuk konsistensi intervensi. Dengan adanya intervensi atau dukungan yang dilakukan secara rutin akan memberikan rasa keteraturan, menjalani proses pemulihan secara konsisten. Hal ini bisa terjadi melalui jadwal intervensi/dukungan yang tetap, pemberian topik yang sudah ditentukan sehingga orang yang berduka memiliki bekal dan dapat mempersiapkan diri.
Modalitas intervensi juga menjadi salah satu kunci utama dalam pemberian intervensi terhadap korban beveared suicide. Penelitian tersebut menemukan bahwa dukungan dari teman sebaya, grup, dan komunitas berkontribusi dalam efektifitas intervensi. Modalitas-modalitas tersebut memiliki manfaat besar bagi korban beveared suicide. Korban akan memiliki ruang aman untuk mengungkapkan perasaannya sehingga memunculkan perasaan baru seperti perasaan mengalami pengalaman serupa, perasaan kesepian yang berkurang, perasaan bercerita tanpa penghakiman, hingga memiliki kesempatan untuk mengembangkan strategi koping terhadap beveared suicide. Di dalam grup atau komunitas, mereka juga cenderung mendapat kesempatan untuk memahami pengalaman mereka sendiri, membangun narasi hidup baru, hingga membantu mengubah cara berpikir yang maladaptif. Modalitas dukungan online sedikit memiliki pendekatan yang berbeda. Modalitas ini cenderung menggunakan media sosial sebagai sarana untuk mendapat dukungan seperti forum, chat, dan grup Facebook. Melalui jaringan online membantu korban untuk mendapatkan informasi untuk mengatasi kedukaan secara lebih cepat. Sifat media sosial yang cukup privat di beberapa ranah membantu korban untuk menuliskan dan membagikan kedukaannya secara terbuka tanpa takut stigmatisasi.
Walaupun demikian, peneliti juga memberikan saran dan kritiknya bagi intervensi yang sudah berjalan atau tersedia. Struktur/panduan intervensi penting bagi korban dan fasilitator, namun intervensi modular atau terbagi-bagi juga diperlukan sehingga intervensi dapat diberikan lebih fleksibel sesuai dengan kasus penyintas. Kemudian, faktor dari fasilitator yang terlatih membantu efektivitas intervensi yang diberikan. Hal ini tampak dalam sikap fasilitator yang percaya diri dan kompeten. Untuk mencapai hal tersebut, fasilitator perlu diberikan edukasi dan pelatihan supaya secara optimal membantu individu dengan kedukaan karena bunuh diri. Beberapa penelitian juga menunjukkan bahwa peer-support menjadi salah satu komponen yang mudah diakses oleh penyintas. Namun, penelitian ini menemukan bahwa intervensi yang diberikan peer-support masih perlu diperiksa efektivitasnya. Selain itu, keberadaan group support juga perlu diperhatikan pelaksanaanya, karena walau dapat menjadi wadah bagi penyintas bereaved namun dapat membagikan trauma lanjutan bagi pendengar di dalam grup jika tidak dikelola dengan baik.
Penulis : Antonius Nandiwardana
Photo by Pixabay at Pexels.com