Kasus perselingkuhan sebenarnya sudah ada sejak lama bahkan sangat dekat dengan kehidupan setiap manusia. Hanya saja, isu perselingkuhan dapat menjadi topik pembicaraan panas jika pelakunya adalah public figure terkenal. Siapa sih yang tidak geram saat menyaksikan berita perselingkuhan para artis yang bersebaran di dunia maya, sampai akhirnya muncul statement sebagaimana berikut.
“Cantik atau ganteng diselingkuhi, sholehah diselingkuhi, kaya diselingkuhi, mapan diselingkuhi, pintar diselingkuhi. Jadi, harus menjadi yang seperti apa lagi agar pasangan menetap sampai akhir hayat nanti?”
Hm, memang meresahkan ya. Nah, pada kesempatan kali ini mari mengupas bersama fakta-fakta di balik perselingkuhan berdasarkan sudut pandang psikologi.
Secara historis, perselingkuhan adalah pemutusan eksklusivitas seksual antara dua orang yang menikah, berpacaran, atau dalam hubungan yang berkomitmen. Namun seiring bergantinya waktu, definisi perselingkuhan semakin meluas dan mencakup berbagai perilaku (cybersex, keintiman fisik, keintiman psikis, dll) yang merusak hubungan utama. Intinya, perselingkuhan mengacu pada perilaku apapun yang melanggar perjanjian ikatan antara dua orang.
Selingkuh memiliki efek negatif bagi sebuah hubungan, bukan hanya pihak-pihak yang terlibat namun juga merambak ke ranah keluarga bahkan tempat kerja. Bagi korban perselingkuhan, ia dapat merasakan beban psikologis yang berat, seperti merasa dikhianati, insecure, marah kepada pasangan, kecewa, kehilangan identitas diri, kehilangan rasa percaya sampai pada akhirnya berubah menjadi overprotektif.
Overprotektif bisa ditandai dengan kecurigaan yang tak henti-hentinya kepada pasangan, menanyakan ke mana saja ia pergi dan mengecek aktivitas sosial pasangan. Selain itu, korban perselinguhan biasanya juga bekerja sama dengan pihak ketiga yang berada di lingkup kerja pasangan untuk memantau gerak-geriknya. Apakah ia pergi ke suatu tempat? Apakah ia menemui seorang wanita/pria? Kemana dia pergi ketika istirahat? Apakah ia terlihat berbeda dari biasanya? Dan berbagai macam pertanyaan lainnya.
Sementara itu, efek bagi pelaku perselingkuhan biasanya akan merasa bersalah, malu, dan kehilangan harga diri. Akhirnya, kepercayaan menjadi sulit untuk kembali didapatkan dan berdampak pada kerugian fisik. Stress, agitasi, dan kelelahan dalam menangani masalah perselingkuhan dapat menyebabkan masalah kesehatan bagi kedua pasangan. Jika perselingkuhan sampai pada aktivitas seksual, maka akan ada potensi ancaman penyakit menular yang membahayakan pasangan dan keluarga.
Perselingkuhan memiliki tiga tipe, perselingkuhan emosional yang berarti adanya keintiman emosional antara dua orang dengan mengesampingkan pasangan, perselingkuhan seksual yang berarti adanya aktivitas seksual tanpa melibatkan perasaan, dan terakhir yaitu perselingkuhan campuran yang berarti keterikatan batin antara dua orang di luar hubungan resmi dengan turut serta melakukan aktivitas seksual. Semua tipe perselingkuhan ini dapat terjadi secara langsung di dunia nyata atau sebatas di dunia maya saja.
Sumber lain menyatakan bahwa terdapat tipe peselingkuhan berdasarkan jangka waktunya, yaitu: (1) perselingkuhan yang tidak direncanakan, tanpa melibatkan perasaan, dan hanya terjadi satu kali, (2) perselingkuhan petualang dimana pelaku menjadikan selingkuh sebagai upaya eksplorasi pengalaman seksual baru, tipe ini bisa sebatas memenuhi hasrat seksual saja atau dapat juga dalam beberapa kasus sampai melibatkan emosi, (3) hubungan dalam perselingkuhan yang bersifat sengaja, dilakukan atas dasar perasaan suka, berjangka panjang, dan memiliki tahapan yang sama sebagaimana pernikahan.
Sebuah penelitian memaparkan faktor-faktor yang mendorong terjadinya perilaku selingkuh, di antaranya adalah nilai-nilai pribadi, peluang seksual, dan hubungan pernikahan. Berikut adalah penjelesan yang lebih rinci berdasarkan sumber yang berbeda.
- Demografis. Jenis kelamin, status, jenjang pendidikan, usia, dan pendapatan seseorang memiliki korelasi dengan terjadinya perselingkuhan. Tetapi sampai saat ini belum ditemukan hasil penelitian yang menunjukkan hasil konsinten terkait apakah perempuan lebih mudah selingkuh, apakah usia muda lebih tergoda untuk berselingkuh daripada usia tua, apakah tingkat pendidikan seseorang turut serta memengaruhi pengambilan keputusan untuk berselingkuh, dll.
- Individual. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seseorang yang mengalami satu atau lebih kondisi berikut seperti kepribadian narsistik, memiliki pengalaman selingkuh, memiliki beberapa teman seks sebelum menikah, peminum alkohol, pengguna narkoba, dan memiliki kecenderungan perilaku negatif yang berkenaan dengan aktivitas seksual berpotensi akan menyelingkuhi pasangan.
- Hubungan. Ketidakpuasan dalam pernikahan dan rendahnya komitmen menjadi salah satu faktor pendorong perilaku selingkuh. Ketidakpuasan bisa dipicu oleh sifat dan sikap pasangan yang tidak dikehendaki, ketiadaan kenyamanan, komunikasi yang buruk, dll sehingga memicu salah satu pasangan untuk mencari pelampiasan ke orang lain.
- Konteks lain. Ada tiga hal yang masuk di dalam kategori ini. Pertama terkait pekerjaan, berbagai jenis pekerjaan tertentu yang membuat seseorang banyak menghabiskan waktu hingga berhari-hari ke luar kota dan tingginya interaksi antara laki-laki dan perempuan bisa memicu timbulnya perselingkuhan. Kedua agama, dijelaskan bahwa praktik keagamaan bisa menjadi faktor protektif bagi sebuah hubungan. Kemudian ketiga adalah internet, suatu alat yang memberikan ruang untuk perselingkuhan di dunia maya dengan tipe seperti apapun.
“Awalnya kupikir bahwa setia adalah tidak pernah tertarik pada orang lain selain pasanganku, tapi setia adalah saat kita merasa tertarik lalu pikiran alam bawah sadar kita bahwa pasangan kita lebih baik dari siapapun.” (B.J Habibie)
Penulis : Relung Fajar Sukmawati
Photo by Alex Green on Pexels