Kita sering berbicara tentang oversharing dan hilangnya personal space di media sosial. Namun, apa perbedaan antara sharing dengan oversharing? Penelitian tentang pengungkapan diri (sharing) menunjukkan bahwa kita lebih menyukai satu sama lain ketika kita berbagi, tetapi di sisi lain, pengungkapan diri yang dianggap tidak pantas secara sosial akan mengurangi rasa suka. Namun, bagaimana batasan hal yang kita bagikan di media sosial dapat memengaruhi cara pandang orang lain? Berikut ini merupakan beberapa saran yang didukung oleh penelitian tentang apa yang seharusnya dan tidak seharusnya kita bagikan di media sosial.
- Tidak perlu menceritakan kegiatan sehari-hari kepada orang yang sering berinteraksi dengan kita. Bagi orang yang sering berinteraksi dengan teman, semakin banyak pengungkapan diri yang dilakukan teman mereka, kepuasan mereka terhadap hubungan tersebut akan semakin rendah. Namun, bagi teman yang kurang sering berhubungan dengan mereka, pengungkapan diri tidak mempengaruhi kepuasan dalam pertemanan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar alasan mengapa pengungkapan diri tersebut mengurangi kepuasan pertemanan adalah karena pengungkapan tersebut menimbulkan risiko personal. Jadi, ketika berbicara tentang orang yang paling sering berkomunikasi dengan kita, kita tidak perlu memberitahu mereka apa yang kita makan untuk sarapan, apa perabotan rumah tangga yang kita beli, atau bagaimana penataan perabotan rumah tangga yang baik. Hal ini dapat membuat persahabatan kita terasa seperti beban dan pada akhirnya merusak hubungan.
- Mengurangi sambat atau mengeluh kepada orang lain. Penelitian menemukan bahwa sebagian besar orang tidak menyukai emosi negatif yang terus menerus di media sosial. Selain itu, apabila semakin banyak emosi negatif dan semakin sedikit emosi positif yang diekspresikan, semakin sedikit pula pengguna media sosial tersebut disukai oleh para observer. Faktanya, emosi negatif di media sosial dapat menular.
- Menunjukkan hubungan romantis seperlunya. Sebuah penelitian menemukan bahwa ketika orang yang berpasangan memilih foto sendiri sebagai foto profil utama media sosial mereka, mereka memperoleh respons positif yang lebih sedikit daripada mereka yang menggunakan foto bersama pasangan. Namun, ada batasan seberapa banyak kita harus menampilkan hubungan romantis di media sosial. Dalam penelitian yang sama, ditemukan bahwa mereka yang terlalu berlebihan dalam menunjukkan hubungan romantis secara online dengan unggahan-unggahan mesra yang berlebihan memperoleh respons positif yang lebih sedikit daripada mereka yang tidak membicarakan hubungan mereka atau yang tidak terlalu banyak mengunggah unggahan mesra. Kita memang dapat menunjukkan kasih sayang dengan menunjukkan hubungan romantis, tetapi hindari apa pun yang dapat dilihat sebagai sesuatu yang terlalu personal atau yang dapat disalahpahami sebagai “pamer”.
- Menunjukkan diri dengan image positif. Mengungkapkan informasi tentang diri sendiri dengan cara yang memberikan kesan positif kepada orang lain terhadap jati diri dan identitas kita dapat memberikan kesan yang lebih baik, selama kita tetap menjaga nada unggahan yang positif. Dalam suatu penelitian, ditemukan bahwa mereka yang merasa dapat mengekspresikan diri mereka secara online cenderung memperoleh respons positif oleh pengamat dari luar yang membaca sepuluh pembaruan status terbaru mereka. Penelitian tersebut menemukan bahwa semakin mampu para pengguna media sosial menampilkan identitas online mereka secara akurat melalui update status mereka, mereka semakin mudah untuk memperoleh respons positif. Namun, penelitian tersebut juga menemukan bahwa respons positif ini sebagian besar disebabkan oleh tingginya intensitas emosi positif yang diekspresikan dalam pembaruan status mereka.
- Tidak terlalu berfokus pada diri sendiri. Dalam suatu penelitian, ditemukan bahwa mereka yang merasa lebih mampu mengekspresikan jati diri yang genuine atau asli secara online cenderung lebih sering menggunakan media sosial dan lebih terbuka secara emosional. Mereka juga cenderung melaporkan bahwa mereka menggunakan media sosial sebagai cara untuk mencari penerimaan dan perhatian dari orang lain, tetapi mereka tidak menunjukkan interaksi positif dan kepedulian terhadap orang lain yang lebih tinggi apabila dibandingkan dengan mereka yang tidak sekadar menggunakan media sosial sebagai cara untuk mengungkapkan diri, tetapi agar mereka tetap terhubung dan untuk menunjukkan kepedulian terhadap orang lain. Selain itu, penelitian tersebut bahwa meskipun mereka mengunggah di timeline media sosial teman-teman mereka dengan frekuensi yang lebih tinggi, mereka tidak menerima lebih banyak unggahan dari orang lain. Dimungkinkan motif penggunaan media sosial yang lebih berfokus pada diri sendiri terlihat jelas oleh teman-teman mereka, sehingga membuat teman-teman mereka kurang responsif terhadap unggahan mereka.
Terdapat temuan penelitian yang menarik mengenai mereka yang memiliki self-esteem rendah dan memahami bahwa media sosial merupakan cara untuk mengungkapkan informasi dan mencari dukungan dari orang lain dengan cara yang tidak terlalu merugikan, namun pada akhirnya mereka hanya mendapatkan sedikit umpan balik dari teman-temannya. Meskipun hasil penelitian ini tidak secara langsung menunjukkan rendahnya umpan balik dari sesama pengguna media sosial, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terlalu banyak aktivitas di media sosial yang berfokus pada diri sendiri dapat menimbulkan kesan yang buruk. Dalam buku self-help-nya yang terkenal, Bagaimana Mencari Kawan dan Mempengaruhi Orang Lain? Dale Carnegie menyarankan mereka yang ingin disukai untuk mengembangkan ketertarikan terhadap orang lain. Saran ini berlaku sama di era digital seperti saat ini. Ketika tujuan kita di media sosial adalah untuk benar-benar terhubung dan peduli dengan orang lain, mereka juga ingin berinteraksi dengan kita.
Penulis : Muhammad Iqbal Fakhrul Firdaus
Photo by Cottonbro Studio on Pexels