• Tentang UGM
  • IT Center
  • Perpustakaan
  • LPPM UGM
Universitas Gadjah Mada UNIVERSITAS GADJAH MADA
KANAL PENGETAHUAN PSIKOLOGI
  • Beranda
  • Artikel Psikologi
  • 3 Minute Thesis
  • Podcast
  • Tokoh Psikologi
  • Beranda
  • Artikel Psikologi
  • Relawan bencana, Pahlawan yang Sering Terlupakan dalam Penelitian Ilmiah

Relawan bencana, Pahlawan yang Sering Terlupakan dalam Penelitian Ilmiah

  • Artikel Psikologi
  • 6 November 2025, 11.13
  • Oleh: kanal.psikologi
  • 0

Dalam setiap bencana yang melanda, baik gempa bumi, banjir, maupun pandemi, terdapat satu kelompok yang selalu hadir di garis depan tanpa banyak sorotan, yaitu para relawan bencana. Mereka bukan hanya tangan pertama yang menolong korban, tetapi juga pihak terakhir yang meninggalkan lokasi bencana. Namun di balik dedikasi tersebut, kesejahteraan mental dan ketangguhan psikologis para relawan kerap luput dari perhatian penelitian dan kebijakan.

Inilah yang menjadi titik awal penelitian Ibu Yuli Arinta Dewi, dosen jurusan Psikologi Universitas Islam Sultan Agung sekaligus mahasiswa Doktor Ilmu Psikologi UGM bersama kolega, yaitu Prof. Koentjoro, Ibu Pradytia Putri Pertiwi, dan Bapak Mizan Bustanul Fuady (Kobe University, Jepang), yang melakukan analisis bibliometrik terhadap seluruh penelitian mengenai resiliensi (ketangguhan) relawan bencana di seluruh dunia. Kajian yang mencakup publikasi sejak 1969 hingga 2024 ini termasuk peta pengetahuan komprehensif pertama yang mengungkap tren, kesenjangan, serta peluang penelitian baru di bidang psikologi kebencanaan.

Lonjakan Penelitian dan Peran Penting Relawan

Dalam tiga dekade terakhir, kejadian bencana meningkat secara signifikan. Data BNPB menunjukkan bahwa sepanjang 2023, Indonesia mengalami 5.400 bencana, atau rata-rata 15 per hari. Dampaknya tidak hanya fisik, tetapi juga psikologis, baik bagi korban maupun relawan yang menolong mereka. Relawan sering menghadapi tekanan berat, dari kelelahan hingga risiko Post-Traumatic Stress Disorder atau PTSD.

Penelitian ini menunjukkan bahwa konsep ketangguhan (resiliensi) menjadi kunci penting agar para relawan mampu bangkit dan beradaptasi di tengah situasi ekstrem. Resiliensi diartikan sebagai kemampuan untuk meminimalkan gangguan, pulih, serta beradaptasi terhadap kondisi baru. Dalam konteks kebencanaan, relawan yang tangguh bukan hanya mampu bertahan secara emosional, tetapi juga menjadi pilar ketahanan masyarakat pascabencana.

Sayangnya, perhatian terhadap topik ini baru muncul belakangan. Dari 590 artikel yang dianalisis, peningkatan signifikan baru terlihat sejak 2005, setelah bencana tsunami Aceh tahun 2004 mengguncang perhatian dunia terhadap aspek kemanusiaan. Sejak itu, penelitian tentang ketangguhan relawan meningkat tajam, khususnya setelah pandemi COVID-19 yang memperluas isu kesehatan mental dalam penanganan bencana.

Dominasi Barat dan Minimnya Kontribusi Indonesia

Hasil kajian bibliometrik mengungkapkan ketimpangan besar dalam sebaran penelitian global. Amerika Serikat menempati posisi teratas dengan 243 publikasi, disusul Inggris, Kanada, Australia, dan Italia. Sementara itu, Indonesia sebagai negara dengan tingkat risiko bencana tertinggi di dunia hanya menyumbang empat publikasi yang membahas relawan dan ketangguhan bencana.

Kondisi ini mencerminkan dominasi penelitian Barat dalam isu ketangguhan, yang umumnya berfokus pada perspektif struktural seperti logistik dan sistem tanggap darurat, bukan pada dimensi budaya atau sosial. Padahal, laporan Federasi Palang Merah Internasional menegaskan bahwa budaya lokal memainkan peran penting dalam strategi ketangguhan masyarakat terhadap bencana.

Dalam konteks Indonesia, nilai-nilai gotong royong, solidaritas sosial, dan spiritualitas dapat menjadi faktor unik dalam membangun ketangguhan relawan. Sayangnya, dimensi tersebut masih jarang diangkat dalam kajian ilmiah. Kajian ini pun menyoroti pentingnya penelitian yang lebih kontekstual dan inklusif, khususnya di negara-negara rawan bencana seperti Indonesia.

Empat Kluster Utama dalam Peta Ilmiah Dunia

Dengan bantuan perangkat lunak VOSViewer, penelitian ini memetakan empat klaster besar dalam literatur global tentang ketangguhan relawan bencana.

  1. Klaster Merah mencakup tema coping, kesehatan mental, dan psikologi bencana. Ini adalah klaster terbesar yang menyoroti dampak psikologis yang dialami relawan setelah terjun langsung di lapangan.
  2. Klaster Hijau berfokus pada kesehatan perilaku dan respon terhadap pandemi seperti COVID-19, menunjukkan perluasan isu dari bencana alam ke krisis kesehatan global.
  3. Klaster Biru membahas institusi seperti rumah sakit, lembaga, dan organisasi penyelamat, serta merekam dinamika kolaborasi antar lembaga dalam tanggap darurat.
  4. Klaster Kuning menyoroti layanan kesehatan dan sistem rujukan, termasuk pentingnya dukungan psikososial dalam pemulihan relawan pascabencana.

Yang menarik, hasil pemetaan menunjukkan bahwa kata kunci “volunteer” (relawan) dan “resilience” (ketangguhan) belum banyak dikaitkan dalam satu klaster penelitian. Artinya, riset yang secara khusus mengaitkan kedua konsep tersebut masih terbuka lebar, khususnya untuk konteks sosial-budaya Asia dan Indonesia.

Dari Tsunami hingga Pandemi: Faktor Pendorong Lonjakan Penelitian

Kenaikan jumlah publikasi dalam dua dekade terakhir ternyata sangat berkorelasi dengan peristiwa besar dunia. Tsunami 2004 di Asia Tenggara menjadi momentum yang menggugah kesadaran global akan pentingnya relawan dan dukungan psikologis. Sedangkan, Sendai Framework for Disaster Risk Reduction (2015–2030) menegaskan bahwa resiliensi merupakan kunci utama pengurangan risiko bencana di masa depan.

Pandemi COVID-19 kemudian menjadi titik balik penting. Di masa tersebut, muncul lonjakan penelitian tentang kesehatan mental pekerja garis depan, termasuk relawan medis dan sosial. Penelitian ini menemukan bahwa sejak 2016 hingga 2024, publikasi di bidang tersebut melonjak hingga 46 artikel per tahun, dibandingkan hanya dua artikel per tahun sebelum 2004.

Mengapa Kita Harus Meneliti Relawan?

Relawan sering disebut pahlawan tanpa tanda jasa dalam bencana. Mereka menghadapi situasi berisiko tinggi, kehilangan tidur, bahkan kadang kehilangan rekan di lapangan. Namun berbeda dengan tenaga profesional, relawan jarang mendapatkan pelatihan psikologis atau dukungan pascabencana yang memadai.

Penelitian-penelitian terdahulu menunjukkan bahwa dukungan sosial, pelatihan kesiapsiagaan, dan makna pribadi merupakan faktor yang dapat memperkuat ketangguhan relawan. Sebaliknya, kurangnya apresiasi dan beban emosional yang tinggi dapat menyebabkan burnout atau gangguan stres berat. Oleh sebab itu, memahami dan memperkuat resiliensi relawan bukan sekadar upaya akademis, tetapi juga bentuk penghargaan terhadap kemanusiaan. Relawan yang tangguh menunjukkan kesiapan masyarakat menghadapi bencana berikutnya.

Menuju Arah Penelitian dan Kebijakan Baru

Melalui tinjauan terhadap 590 publikasi selama lebih dari setengah abad, penelitian ini berhasil menyusun peta besar perkembangan penelitian tentang relawan bencana di dunia. Para peneliti menyimpulkan bahwa:

  1. Ketangguhan relawan adalah tema penting namun masih kurang dieksplorasi, khususnya di Asia Tenggara.
  2. Dominasi penelitian Barat perlu diimbangi dengan kajian berbasis budaya dan konteks lokal.
  3. Penelitian di Indonesia perlu diarahkan pada pendekatan pencegahan dan intervensi psikososial bagi relawan.

Dengan data tersebut, para peneliti, lembaga kebencanaan, serta pembuat kebijakan memiliki dasar kuat untuk mengembangkan model pelatihan relawan yang tidak hanya berfokus pada kemampuan teknis, tetapi juga ketangguhan mental dan sosial.

Penutup

Relawan bencana adalah wajah kemanusiaan yang nyata. Mereka hadir bukan karena kewajiban, melainkan karena panggilan nurani. Namun untuk terus menjaga semangat mereka, dunia akademik dan kebijakan publik perlu lebih memperhatikan aspek psikologis dan sosial dari peran mereka.

Melalui penelitian komprehensif ini, Ibu Yuli Arinta Dewi dan para kolega membuka jalan bagi arah baru penelitian bencana, yaitu menempatkan relawan bukan hanya sebagai penolong, tetapi juga sebagai individu yang perlu dilindungi dan dikuatkan. Karena pada akhirnya, ketangguhan masyarakat menghadapi bencana sangat bergantung pada ketangguhan para relawan yang berdiri di garis depan.

 

Penulis : Muhammad Iqbal Fakhrul Firdaus

A Photo by Pixabay at Pexel.com

Tags: artikelpsikologi psikologi psikologiugm relawanbencana SDG 3: Kehidupan Sehat dan Sejahtera
Universitas Gadjah Mada

Fakultas Psikologi
Universitas Gadjah Mada
Jl. Sosio Humaniora Bulaksumur
Yogyakarta 55281 Indonesia
fpsi[at]ugm.ac.id
+62 (274) 550435 ext 158
+62 (274) 550435

© Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY