Belakangan ini, sosial media marak dibanjiri dengan konten olahraga, mulai dari gym, lari, tenis, golf, yoga, pilates, berkuda, dan masih banyak lagi. Tren ragam komunitas olahraga yang ramai saat ini merupakan salah satu bukti akan meningkatnya kesadaran masyarakat dalam menjaga kesehatan. Dilansir dari medical wellness Indonesia 2024, masyarakat Indonesia semakin sadar akan menjaga kesehatan secara optimal, salah satunya dengan berolahraga. Perlu diketahui juga, bahwa kegemaran terhadap olahraga merupakan salah satu bentuk dari coping mechanism loh!
SDG 4: Pendidikan Berkualitas
Berbicara perkara screen time erat kaitannya dengan penggunaan gadget. Siapa sih yang bisa seharian tidak menggunakannya? Saat ini yang menjadi persoalan adalah gadget banyak digunakan bukan hanya oleh mereka yang sudah memahami konteks penggunaan, tetapi juga digunakan oleh mereka yang masih dalam kategori anak usia dini, yang lebih miris lagi bayi yang sudah bisa merespons gambar atau percakapan orang lain mulai diberikan gadget oleh orang tuanya dengan dalih untuk mengeksplorasi pengetahuan seperti mengajarkannya bernyanyi, menirukan suara hewan, dan lain sebagainya yang kesannya positif. Bahkan ada orang tua yang beralasan, “Biar anteng kalau ditinggal melakukan pekerjaan rumah”. Hal itu tentu membuat fungsi gadget dalam hal ini smartphone menjadi hero untuk orang tua agar anak tetap tenang dan orang tua bisa nyaman dalam mengerjakan pekerjaan lain.
Istilah “manifestasi” telah menjadi hal yang tidak asing lagi di telinga kita. Bagi beberapa orang, manifestasi menjadi salah satu metode kunci yang bisa digunakan untuk mewujudkan apa yang diharapkan. Meski demikian, sebagian orang lainnya masih berpandangan skeptis terhadap manifestasi hingga meragukan cara dan hasil kerja dari manifestasi itu sendiri. Manifestasi mengacu pada cara kita mewujudkan keinginan, tujuan, atau hasil tertentu menjadi kenyataan melalui pemikiran, keyakinan, dan tindakan yang terfokus. Meskipun konten dalam manifestasi tiap orang berbeda, tetapi mereka memiliki bentuk yang serupa. Selayaknya pemancar radio yang bersifat tak kasat mata namun memiliki sinyal yang kuat. Sinyal pesan tersebutlah yang ditangkap oleh kekuatan yang lebih besar, yakni alam semesta dan Tuhan yang pada akhirnya dikirim kembali kepada orang yang melakukan manifestasi tersebut sesuai dengan pikiran dan emosinya.
Virtual Reality (VR) kini telah menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari. Dengan VR, kita bisa bermain game yang terasa begitu nyata hingga melakukan perjalanan virtual ke berbagai tempat. Teknologi ini menciptakan pengalaman imersif yang memungkinkan kita berinteraksi dengan lingkungan virtual seolah-olah kita benar-benar ada di sana. Di samping untuk hiburan, VR telah membuka berbagai peluang menarik termasuk dalam kesehatan mental. Menarik, bukan?
Apa itu VR?
VR merupakan simulasi tiga dimensi (3D) yang dihasilkan oleh komputer dalam bentuk gambar dan suara berdasar situasi kehidupan nyata. Dengan menggunakan peralatan elektronik seperti headset VR dan hand controller, pengguna bisa merasakan dan berinteraksi secara langsung dengan dunia virtual tersebut. VR sejatinya bukanlah teknologi baru. Meskipun semakin populer belakangan, VR sudah diperkenalkan pertama kali di tahun 1960-an untuk industri penerbangan. Seiring dengan kemajuan daya komputasi, perkembangan VR semakin maju. Pada akhir tahun 1990-an, barulah muncul penelitian yang menunjukkan potensi VR untuk mengurangi gejala fobia.
Bukan hanya soal penuaan, faktor lain juga berpengaruh pada risiko penyakit demensia. Bertambahnya usia seiring berjalannya waktu tidak bisa kita hindari, namun mencegah penyakit ini bisa dilakukan melalui penerapan pola hidup yang sehat dan melatih otak melalui games-games yang menyenangkan.
Demensia kini menjadi salah satu masalah kesehatan global yang diakui oleh WHO seiring dengan peningkatan kasus hampir 10 juta jiwa setiap tahunnya. Penyakit ini dapat mempengaruhi dalam kemampuan berpikir, mengingat dan melakukan aktivitas sehari-hari. Penyakit ini dapat sangat mempengaruhi kehidupan penderita dan juga keluarganya. Masyarakat sering menganggap demensia hanya diderita oleh para lansia saja. Namun, meskipun risiko terbesar penyebab penyakit ini adalah penuaan, orang yang lebih muda pun dapat menderita penyakit ini lebih cepat akibat adanya faktor risiko lain.
Menikah adalah suatu keputusan besar dan tidak mudah bagi seseorang karena tujuannya yang kompleks yakni untuk menggabungkan dua kehidupan individu menjadi satu kesatuan yang harmonis. Dalam perjalanannya, saat menikah nanti individu akan dipenuhi dengan kebahagiaan sekaligus tantangan mengingat menikah adalah komitmen yang melibatkan berbagai aspek, mulai dari cinta dan kasih sayang hingga kerja sama dan pengertian yang mendalam.
Pada kenyataannya, persiapan pernikahan seringkali terfokus pada aspek teknis seperti acara, bridesmaid, gaun, undangan, bahkan lokasi bulan madu. Padahal ada hal-hal yang harus diperhatikan untuk keintiman dan kesejahteraan jangka panjang kedua individu. Salah satunya adalah persiapan psikologis yang perlu diperhatikan dan akan berpengaruh terhadap kualitas rumah tangga ke depannya nanti. Menurut penelitian Itryah dan Ananda, salah satu faktor penyebab perceraian yakni situasi ketidaksiapan dalam membangun rumah tangga yang akan mengakibatkan perselisihan dan berujung perceraian. Oleh karena itu, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan saat berumah tangga, maka diperlukan langkah-langkah persiapan mental ketika akan menikah.
Berdasarkan data BPS, jumlah pengguna gadget untuk anak usia dini di Indonesia sebanyak 33,44%, dengan rincian 25,5% pengguna anak berusia 0-4 tahun dan 52,76% anak berusia 5-6 tahun. Hal ini tidak menutup kemungkinan dapat memicu kecanduan gadget pada anak. Kecanduan gadget pada anak menjadi fenomena yang semakin mengkhawatirkan di era digital ini. Menurut survei Komisi Perlindungan Anak Indonesia, lebih dari 71,3% anak usia sekolah memiliki gadget dan memainkannya dalam porsi yang cukup lama dalam sehari serta sebanyak 79% responden anak boleh memainkan gadget selain untuk belajar. Anak-anak yang menghabiskan terlalu banyak waktu di depan layar sering kali mengalami berbagai masalah, mulai dari gangguan tidur, penurunan prestasi akademik, hingga masalah sosial dan emosional.
Pernahkah Anda merasa seperti seorang penipu di tengah kerumunan orang-orang sukses? Atau mungkin, pernahkah Anda merasa bahwa pencapaian Anda hanya didasarkan pada keberuntungan, bukan hasil kerja keras Anda?
Apa yang Anda alami mungkin merupakan ciri-ciri Impostor Syndrome. Sindrom ini sering diartikan sebagai kesulitan dalam menginternalisasi prestasi sehingga menyebabkan seseorang merasa seperti penipu. Namun, jika kelewatan batas, hal ini bisa berdampak negatif pada kesejahteraan dan bahkan kemajuan karir, loh. Sejumlah artikel telah menyatakan hubungannya dengan pengalaman kecemasan, depresi, dan harga diri rendah. Dan apabila tidak diatasi, hal ini dapat menghalangi Anda untuk melamar posisi yang lebih tinggi, menghindari peluang, mempersiapkan diri secara berlebihan, dan bekerja dengan jam kerja yang melewati batas kemampuan.
Dalam hidup, tidak semua hal berjalan sesuai apa yang kita inginkan. Secara fitrahnya, semua manusia di muka bumi ini pasti menginginkan kebahagiaan. Akan tetapi, hidup tidak selalu berjalan semulus itu. Terkadang kita juga diterpa dengan hal-hal atau situasi tidak terduga yang membuat kita cemas, sedih, hingga stres. Hal ini sebab akan selalu ada hal-hal yang tidak bisa kita ubah, yakni hal-hal yang berada di luar kendali kita. Hal tersebut menjadi bahasan utama dalam filosofi hidup Stoikisme.
Stoikisme adalah aliran filsafat Romawi Kuno yang telah berusia lebih dari 2000 tahun, tetapi masih sangat relevan dengan kondisi manusia pada saat ini. Stoikisme sebagai aliran filsafat yang paling banyak diterima membantu kita untuk dapat mengontrol emosi negatif dan segala hal yang berada pada kendali kita serta mensyukuri apa yang kita miliki saat ini. Stoikisme menekankan pada pengendalian diri, terutama yang berkaitan dengan faktor-faktor yang dapat kita ubah. Filosofi hidup stoikisme mengajarkan kita untuk mengubah apa yang bisa kita ubah (dimensi internal) dan menerima keadaan yang tidak bisa kita ubah (dimensi eksternal). Salah satu contoh dari hal yang tidak bisa kita kontrol adalah respon atau tanggapan dari orang lain terhadap diri kita.
Di tengah hiruk-pikuk kehidupan modern, banyak dari kita mencari cara untuk menemukan kedamaian dan keseimbangan. Salah satu pendekatan yang telah mendapatkan popularitas luas adalah praktik mindfulness atau kesadaran penuh. Praktik tersebut tidak hanya menawarkan jeda dari kesibukan sehari-hari, tetapi juga berdampak signifikan terhadap kesejahteraan mental dan fisik kita. Dalam artikel ini, kita akan menjelajahi esensi mindfulness, bagaimana cara mengintegrasikannya ke dalam kehidupan sehari-hari, dan manfaat nyata yang dapat dirasakan.