Indonesia merupakan salah satu negara yang rawan terjadi bencana. Letak geografis Indonesia yang berada di jalur ring of fire atau zona pertemuan lempeng tektonik paling aktif membuat bencana gunung meletus sering terjadi di negara tercinta ini. Salah satu bencana letusan gunung berapi adalah awan panas Gunung Semeru di Kabupaten Lumajang pada tanggal 21 Desember 2021. Kerusakan alam yang diakibatkan oleh bencana ini membuat lebih dari 1900 keluarga harus berpindah ke rumah tinggal tetap sehingga menyebabkan para penyintas harus beradaptasi dengan lingkungan baru, termasuk mencari sumber pendapatan alternatif untuk menopang penghidupan mereka.
SDG 4: Pendidikan Berkualitas
Akhir-akhir ini di jagat maya, istilah “brain rot” sering muncul sebagai perbincangan di media sosial. Istilah ini muncul pada platform media sosial populer seperti TikTok. Sebenarnya penggunaan istilah mulai dikenalkan oleh komunitas media sosial di kalangan generasi Z dan Alpha. Oxford menobatkan brain rot sebagai “word of the year” pada tahun 2024. Hal tersebut terjadi setelah Oxford menghimpun suara publik selama dua minggu dengan total partisipan sejumlah 37.000 orang. Tim bahasa Oxford menyusun daftar pendek yang berisi enam kata yang mencerminkan suasana dan tren percakapan selama tahun 2024. Kemudian, melakukan pemungutan suara dan penghitungan hingga memutuskan brain rot sebagai word of the year versi Oxford.
Banyak orang percaya bahwa spiritualitas berpengaruh terhadap perkembangan nilai moral pribadi. Asumsi ini juga diperkuat dengan bukti-bukti yang menyatakan bahwa individu dengan landasan spiritual kuat cenderung tidak mudah terlibat dalam hal-hal yang melanggar moral, seperti kecurangan akademis. Sayangnya, kecurangan akademis masih sering terjadi, bahkan di negara-negara dengan tingkat religiusitas yang tinggi. Hal ini menunjukkan adanya kesenjangan antara religiusitas yang menekankan integritas dan kejujuran dengan perilaku siswa dalam lingkungan akademis. Berbagai bentuk kecurangan akademis, seperti plagiat, copy-paste dari internet, menyontek, dan sebagainya sudah menjadi hal yang cukup familiar di masyarakat. Lalu, bagaimana sebenarnya peran spiritualitas dalam lingkup pendidikan?
Artikel ini akan membahas secara ringkas hasil riset yang dilakukan oleh tim peneliti dari Fakultas Psikologi UGM bersama beberapa pusat studi lainnya mengenai hubungan antara tingkat spiritualitas dan persepsi terhadap kecurangan akademik.
Siapa, sih, yang tidak mengenal istilah depresi? Sebuah gangguan kesehatan mental yang ditandai dengan perasaan sedih, putus asa, dan kehilangan minat terhadap aktivitas yang biasanya menyenangkan. Perasaan ini bisa berlangsung lama, memengaruhi cara seseorang berpikir, merasakan, dan berperilaku. Depresi bukan sekedar “merasa sedih” atau “bad mood”, melainkan suatu kondisi yang bisa memengaruhi kehidupan sehari-hari, seperti pekerjaan, hubungan sosial, dan kesehatan fisik.
Contoh, nih, ada seorang mahasiswa akhir yang awalnya sangat bersemangat mengerjakan tugas akhir thesis namun berubah menjadi kehilangan motivasi, hal itu terjadi karena ia mengalami revisi dari dosen pembimbing dan mendapatkan hambatan dalam pengumpulan data. Seiring berjalannya waktu, ia semakin sulit berkonsentrasi, mengalami masalah tidur dan kelelahan kronis, menghindari pertemuan sosial, dan menjauhi teman dan keluarga. Akibatnya, ia tidak dapat menyelesaikan revisi tesis sesuai jadwal, berisiko melewati batas masa studi.
Kira-kira, bagaimana, ya, ketika orang-orang terdekat atau mungkin diri kita sendiri memiliki kecenderungan mengalami depresi? Nah, sebelum menjawab pertanyaan ini. Yuk, kita telusuri terlebih dahulu bagaimana depresi bisa terjadi.
Belakangan ini, sosial media marak dibanjiri dengan konten olahraga, mulai dari gym, lari, tenis, golf, yoga, pilates, berkuda, dan masih banyak lagi. Tren ragam komunitas olahraga yang ramai saat ini merupakan salah satu bukti akan meningkatnya kesadaran masyarakat dalam menjaga kesehatan. Dilansir dari medical wellness Indonesia 2024, masyarakat Indonesia semakin sadar akan menjaga kesehatan secara optimal, salah satunya dengan berolahraga. Perlu diketahui juga, bahwa kegemaran terhadap olahraga merupakan salah satu bentuk dari coping mechanism loh!
Berbicara perkara screen time erat kaitannya dengan penggunaan gadget. Siapa sih yang bisa seharian tidak menggunakannya? Saat ini yang menjadi persoalan adalah gadget banyak digunakan bukan hanya oleh mereka yang sudah memahami konteks penggunaan, tetapi juga digunakan oleh mereka yang masih dalam kategori anak usia dini, yang lebih miris lagi bayi yang sudah bisa merespons gambar atau percakapan orang lain mulai diberikan gadget oleh orang tuanya dengan dalih untuk mengeksplorasi pengetahuan seperti mengajarkannya bernyanyi, menirukan suara hewan, dan lain sebagainya yang kesannya positif. Bahkan ada orang tua yang beralasan, “Biar anteng kalau ditinggal melakukan pekerjaan rumah”. Hal itu tentu membuat fungsi gadget dalam hal ini smartphone menjadi hero untuk orang tua agar anak tetap tenang dan orang tua bisa nyaman dalam mengerjakan pekerjaan lain.
Istilah “manifestasi” telah menjadi hal yang tidak asing lagi di telinga kita. Bagi beberapa orang, manifestasi menjadi salah satu metode kunci yang bisa digunakan untuk mewujudkan apa yang diharapkan. Meski demikian, sebagian orang lainnya masih berpandangan skeptis terhadap manifestasi hingga meragukan cara dan hasil kerja dari manifestasi itu sendiri. Manifestasi mengacu pada cara kita mewujudkan keinginan, tujuan, atau hasil tertentu menjadi kenyataan melalui pemikiran, keyakinan, dan tindakan yang terfokus. Meskipun konten dalam manifestasi tiap orang berbeda, tetapi mereka memiliki bentuk yang serupa. Selayaknya pemancar radio yang bersifat tak kasat mata namun memiliki sinyal yang kuat. Sinyal pesan tersebutlah yang ditangkap oleh kekuatan yang lebih besar, yakni alam semesta dan Tuhan yang pada akhirnya dikirim kembali kepada orang yang melakukan manifestasi tersebut sesuai dengan pikiran dan emosinya.
Virtual Reality (VR) kini telah menjadi bagian dari kehidupan kita sehari-hari. Dengan VR, kita bisa bermain game yang terasa begitu nyata hingga melakukan perjalanan virtual ke berbagai tempat. Teknologi ini menciptakan pengalaman imersif yang memungkinkan kita berinteraksi dengan lingkungan virtual seolah-olah kita benar-benar ada di sana. Di samping untuk hiburan, VR telah membuka berbagai peluang menarik termasuk dalam kesehatan mental. Menarik, bukan?
Apa itu VR?
VR merupakan simulasi tiga dimensi (3D) yang dihasilkan oleh komputer dalam bentuk gambar dan suara berdasar situasi kehidupan nyata. Dengan menggunakan peralatan elektronik seperti headset VR dan hand controller, pengguna bisa merasakan dan berinteraksi secara langsung dengan dunia virtual tersebut. VR sejatinya bukanlah teknologi baru. Meskipun semakin populer belakangan, VR sudah diperkenalkan pertama kali di tahun 1960-an untuk industri penerbangan. Seiring dengan kemajuan daya komputasi, perkembangan VR semakin maju. Pada akhir tahun 1990-an, barulah muncul penelitian yang menunjukkan potensi VR untuk mengurangi gejala fobia.
Bukan hanya soal penuaan, faktor lain juga berpengaruh pada risiko penyakit demensia. Bertambahnya usia seiring berjalannya waktu tidak bisa kita hindari, namun mencegah penyakit ini bisa dilakukan melalui penerapan pola hidup yang sehat dan melatih otak melalui games-games yang menyenangkan.
Demensia kini menjadi salah satu masalah kesehatan global yang diakui oleh WHO seiring dengan peningkatan kasus hampir 10 juta jiwa setiap tahunnya. Penyakit ini dapat mempengaruhi dalam kemampuan berpikir, mengingat dan melakukan aktivitas sehari-hari. Penyakit ini dapat sangat mempengaruhi kehidupan penderita dan juga keluarganya. Masyarakat sering menganggap demensia hanya diderita oleh para lansia saja. Namun, meskipun risiko terbesar penyebab penyakit ini adalah penuaan, orang yang lebih muda pun dapat menderita penyakit ini lebih cepat akibat adanya faktor risiko lain.
Menikah adalah suatu keputusan besar dan tidak mudah bagi seseorang karena tujuannya yang kompleks yakni untuk menggabungkan dua kehidupan individu menjadi satu kesatuan yang harmonis. Dalam perjalanannya, saat menikah nanti individu akan dipenuhi dengan kebahagiaan sekaligus tantangan mengingat menikah adalah komitmen yang melibatkan berbagai aspek, mulai dari cinta dan kasih sayang hingga kerja sama dan pengertian yang mendalam.
Pada kenyataannya, persiapan pernikahan seringkali terfokus pada aspek teknis seperti acara, bridesmaid, gaun, undangan, bahkan lokasi bulan madu. Padahal ada hal-hal yang harus diperhatikan untuk keintiman dan kesejahteraan jangka panjang kedua individu. Salah satunya adalah persiapan psikologis yang perlu diperhatikan dan akan berpengaruh terhadap kualitas rumah tangga ke depannya nanti. Menurut penelitian Itryah dan Ananda, salah satu faktor penyebab perceraian yakni situasi ketidaksiapan dalam membangun rumah tangga yang akan mengakibatkan perselisihan dan berujung perceraian. Oleh karena itu, untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan saat berumah tangga, maka diperlukan langkah-langkah persiapan mental ketika akan menikah.