Psikologi menjadi ilmu yang banyak dibutuhkan oleh masyarakat luas. Tidak seperti dulu, saat ini kajian tentang psikologi ramai didatangi, baik yang membahas tentang penyembuhan diri, keluarga, pola asuh, pembentukan kebiasaan, pendidikan, bahkan pernikahan. Selain topik tersebut, Psikologi Islam juga semakin banyak diminati dalam beberapa tahun ini. Pertanyaannya, apakah Psikologi Islam memiliki konsep landasan yang sama dengan Psikologi Konvensional?
SDG 4: Pendidikan Berkualitas
Kementerian Kesehatan melaporkan bahwa jumlah individu dengan autisme di Indonesia diperkirakan mencapai 2,4 juta orang, adapun jumlah anak yang terdiagnosis autisme diperkirakan meningkat sebanyak 500.000 anak setiap tahunnya. Jumlah yang cukup besar ini tentu mendorong para praktisi dan peneliti di bidang ABK untuk mengkaji berbagai aspek perkembangan individu dengan autisme, mulai dari karakteristik kognitif, sosial, hingga potensi unik yang mereka miliki
Anak dengan disabilitas intelektual adalah suatu kondisi perkembangan psikis yang terhenti atau tidak lengkap, utamanya ditandai dengan terjadinya ketidaknormalan perkembangan pada tingkat kecerdasan secara menyeluruh, seperti kemampuan kognitif, bahasa, motorik, dan sosial. Disabilitas intelektual disebabkan oleh faktor primer dan sekunder. Pada faktor primer yakni adanya keturunan/genetik, sedangkan faktor sekunder disebabkan oleh faktor luar yang memengaruhi otak, seperti kondisi-kondisi yang terjadi ketika masa prenatal ataupun postnatal serta faktor lainnya.
Perkembangan sosial dan emosional anak merupakan cerminan dari kematangan sosial dan emosional orang tua. Benarkah demikian? Masa kanak-kanak dipandang sebagai fase krusial dan progresif bagi perkembangan konsep diri, termasuk kemampuan sosio-emosional anak. Orangtua, terutama ibu sebagai figur sosial terdekat bagi anak berperan penting dalam pemberian teladan maupun bimbingan sosial dan emosional yang tepat. Pola pengasuhan yang dilakukan orang tua pada perkembangan ini dapat menjadi sebuah stimulasi atau bahkan penghambat. Data WHO menunjukkan bahwa 20% anak di seluruh dunia mengalami masalah perkembangan sosio-emosional akibat ketidaktepatan pola asuh.
Apakah kalian pernah membaca chat seperti “Baik. Terima kasih pak/bu 🙏”, “menty b banget hari ini.” atau “iyaa siih” ?
Bagi generasi sebelum Gen Z, bahasa atau gaya komunikasi yang digunakan Gen Z itu membingungkan. Lalu, kenapa sih Gen Z punya gaya komunikasi yang berbeda dengan generasi mereka?
Gen Z lebih banyak berkomunikasi lewat sosial media seperti Tik Tok, Instagram, dan X daripada generasi sebelumnya. Bahkan, sosial media seolah-olah menjadi kehidupan kedua bagi mereka karena mereka sangat aktif menggunakan sosial media. Sosial media menjadi salah satu faktor penyebab dari perbedaan gaya komunikasi mereka dengan generasi sebelumnya yang menggunakan struktur kalimat kompleks dan panjang dan cenderung formal.
Akhir-akhir ini, istilah dalam dunia pengasuhan semakin beragam, salah satunya adalah pendekatan gentle parenting. Pendekatan ini semakin populer di kalangan para orang tua setelah banyak tokoh di sosial media yang membuat konten mengenai pendekatan ini. Semakin populernya pendekatan ini menjadi sebuah tanda tanya, apakah pendekatan ini merupakan pendekatan ilmiah, pendekatan yang merujuk pada pendekatan ilmiah tertentu, atau hanya sekedar pendekatan yang populer yang berkembang di masyarakat?
Pernahkah anda merasa kesulitan berhenti scroll social media, meskipun awalnya berniat membuka social media hanya 5-10 menit saja?
Ternyata ini kerap terjadi, terutama ketika aktivitas scrolling ini dilakukan tanpa tujuan yang jelas. Fakta menunjukkan bahwa Indonesia menempati urutan ketiga dalam jumlah pengguna media sosial aktif, dengan total mencapai 143 juta pengguna. Rata-rata, orang Indonesia menghabiskan sekitar 3 jam setiap hari untuk mengakses media sosial. Angka ini tentu sangat fantastis, bayangkan jika durasi tersebut dialihkan untuk kegiatan yang lebih produktif.
Pernahkah kamu merasa bahwa media sosial seolah-olah tahu apa yang kamu pikirkan? Setiap kali kamu scrolling laman media sosial, muncul konten dan info-info yang relevan satu sama lain.
Kok bisa sih?
Ini bukanlah kebetulan, melainkan hasil kerja keras algoritma yang dirancang untuk memahami kebiasaan kita. Sebenarnya, seberapa besar sih pengaruh algoritma ini? Apakah kita selalu punya kendali dalam melihat informasi atau justru algoritma yang diam-diam membentuk perilaku kita? Yuk, kita kupas lebih lanjut bagaimana algoritma bekerja dan dampaknya bagi keseharian kita.
Perkembangan dalam sistem transaksi keuangan saat ini mengalami kemajuan yang sangat pesat. Jika sebelumnya masyarakat lebih banyak menggunakan uang tunai, kini metode pembayaran non-tunai mulai mengambil alih. Seiring pergeseran menuju ekonomi digital, penggunaan uang elektronik dan transaksi berbasis kartu semakin meningkat. Kemajuan teknologi yang cepat dan mudah diakses turut mendorong pertumbuhan e-commerce, yang memanfaatkannya untuk menjangkau lebih banyak konsumen. Salah satu inovasi terbaru dalam layanan keuangan digital adalah paylater, sebuah metode pembayaran yang mirip dengan kartu kredit namun tidak memerlukan kartu fisik.
Siapa, sih, manusia yang tidak mencintai dirinya sendiri? Manusia selalu memiliki rasa cinta terhadap dirinya. Hanya saja, kadar cinta setiap individu berbeda. Ada yang kadar self love-nya rendah sehingga ia cenderung memandang negatif dirinya, menganggapnya sebagai sosok yang hanya penuh kekurangan tanpa sedikitpun kelebihan. Di lain sisi, ada juga manusia yang rasa cinta terhadap dirinya sangat tinggi. Akibatnya, ia tumbuh menjadi sosok egois yang minim empati terhadap orang lain.
Apa itu self love? Bagaimana agar self love tidak menjadi berlebihan? Bagaimana konsep selfless dan pengaruhnya bagi kehidupan ini? Apakah selfless sama dengan people pleasure? Yuk, baca artikel ini sampai tuntas.