Anak dengan disabilitas intelektual adalah suatu kondisi perkembangan psikis yang terhenti atau tidak lengkap, utamanya ditandai dengan terjadinya ketidaknormalan perkembangan pada tingkat kecerdasan secara menyeluruh, seperti kemampuan kognitif, bahasa, motorik, dan sosial. Disabilitas intelektual disebabkan oleh faktor primer dan sekunder. Pada faktor primer yakni adanya keturunan/genetik, sedangkan faktor sekunder disebabkan oleh faktor luar yang memengaruhi otak, seperti kondisi-kondisi yang terjadi ketika masa prenatal ataupun postnatal serta faktor lainnya.
Dampak nyata dari disabilitas intelektual khususnya di usia sekolah dasar ialah anak mengalami kesulitan dalam mengikuti kegiatan belajar karena kemampuan membaca yang belum memadai. Padahal, kemampuan membaca menjadi salah satu kunci penting dalam keberhasilan akademik anak di sekolah. Dengan kemampuan membaca, anak dapat mengetahui apa yang dipelajari dari suatu sumber yang diberikan guru secara mandiri. Selain itu, anak yang memiliki kemampuan membaca yang lambat juga mengalami kesulitan dalam memaknai sebuah kalimat karena anak hanya fokus pada memproses huruf-huruf menjadi kata dan kata-kata digabungkan menjadi sebuah kalimat.
Sebagaimana kelancaran membaca menjadi skill yang dibutuhkan setelah anak mampu membaca dengan baik. Kelancaran membaca yakni kemampuan untuk mengenal kata dan memahami suatu bacaan pada waktu yang bersamaan. Agar lancar, seorang pembaca perlu menguasai tiga komponen penting ini:
- Keakuratan (Accuracy), yakni kemampuan membaca kata dengan tepat
Ini adalah fondasi dasarnya. Sebelum lancar, seorang pembaca harus bisa melafalkan atau mengucapkan kata-kata dengan benar. Komponen ini diukur dari seberapa banyak kata dalam sebuah kalimat atau teks yang dapat dibaca dengan tepat, tanpa salah ucap. Misalnya membaca kata “bagaimana” dengan benar, bukan “bagimana” atau “bagaimano”.
- Otomatisitas (Automaticity), yakni kemampuan mengenali kata dengan cepat dan otomatis
Setelah bisa membaca dengan tepat, langkah selanjutnya adalah membuatnya menjadi otomatis. Otomatisitas adalah kemampuan untuk mengenali kata-kata dengan sangat cepat, tanpa harus mengejanya satu per satu. Ini seperti refleks. Kecepatan membaca yang baik adalah cermin dari otomatisitas ini. Misalnya ketika melihat kata “dan”, “atau”, “ibu”, mata dan otak langsung mengenalinya dalam sekejap, tanpa proses mengeja d-a-n.
- Pembawaan atau Irama (Prosody), yakni kemampuan membaca dengan ekspresi
Inilah komponen yang sering terabaikan pada proses pembelajaran membaca. Prosody adalah kemampuan membaca dengan ungkapan dan irama yang tepat, seperti orang sedang berbicara. Seorang pembaca yang fluent akan menggunakan intonasi naik-turun, memberikan tekanan pada kata-kata penting, dan menghormati tanda baca (berhenti sejenak di titik atau memberi jeda di koma).
Membaca dengan prosody yang baik bukan hanya soal merdu, tetapi menunjukkan bahwa pembaca benar-benar memahami emosi dan struktur kalimat yang dibacanya. Misalnya membaca kalimat tanya dengan intonasi yang naik di akhir (“Kamu mau ke mana?”), atau memberikan penekanan pada kata kunci dalam sebuah kalimat. Pada artikel ini akan membahas hasil penelitian dari Yuni Lestari dkk (2025) tentang Repeated Reading untuk meningkatkan kelancaran membaca pada anak disabilitas intelektual.
Bagaimana repeated reding dilakukan dalam penelitian ini?
Salah satu pendekatan yang digunakan untuk membantu anak dengan disabilitas intelektual pada kemampuan membaca yakni dengan repeated reading. Repeated reading merupakan membaca dengan cara membaca teks yang sama beberapa kali hingga kecepatan dan ketepatan membaca menjadi meningkat. Hal ini jika dianalogikan mirip seperti berlatih lagu atau gerakan olahraga berulang kali hingga otomatis. Lestari dkk (2025) melakukan penelitian dengan mengajari anak-anak dengan disabilitas intelektual dengan pendekatan repeated reading dengan bantuan ibunya, guru lesnya, dan peneliti itu sendiri.
Pada prakteknya, setiap perlakuan dalam mengajarkan membaca diberikan hadiah berupa bintang sebanyak 15 pcs setelah dilakukan 15 kali pengajaran / 15 hari. Pada tiap sesinya anak mendapatkan pujian serta bintang dari peneliti, dan di akhir sesi (hari ke 15) dapat ditukarkan dengan buku gambar yang diinginkan partisipan, sedangkan dari ibunya, partisipan diberikan mainan. Dari hal-hal yang dilakukan tersebut terlihat pentingnya keterlibatan orang tua, kakak, dan guru. Dengan dukungan emosional dan apresiasi yang diberikan, ini memberi semangat lebih pada anak. Teknik ini bisa diterapkan bukan hanya pada anak dengan disabilitas intelektual, tapi juga anak dengan disleksia atau anak prasekolah yang masih belajar membaca.
Hasil dari penerapan repeated reading
Hasil penelitian menunjukkan terdapat peningkatan yang signifikan dari kelancaran membaca pada anak disabilitas. Kenaikan ini ditandai dengan peningkatan akurasi membaca, intonasi membaca, serta jumlah kata yang benar diucapkan. Peningkatan signifikan dari yang hanya bisa membaca 8 kata benar per menit menjadi 47 kata per menit.
Mendampingi anak belajar membaca, terutama anak dengan kebutuhan khusus, memang tidak selalu mudah. Namun, dibutuhkan kesabaran ekstra, kreativitas tanpa batas, dan konsistensi yang berkelanjutan. Orang tua, guru, dan masyarakat memiliki peran penting untuk menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan bukan menekan, melainkan menumbuhkan semangat anak untuk mencoba lagi dan lagi.
Ingatlah, setiap kemajuan kecil adalah pencapaian besar bagi mereka. Ketika seorang anak mampu membaca satu kata lebih lancar dari kemarin, itu bukan hal sepele, itu adalah langkah maju yang patut dirayakan. Dengan dukungan, apresiasi, dan kasih sayang dari orang-orang terdekat, anak-anak dengan kesulitan membaca pun dapat berkembang dan menemukan kebanggaan dalam proses belajarnya. Karena pada akhirnya, keberhasilan bukan hanya tentang seberapa cepat mereka membaca, tetapi seberapa besar semangat dan kepercayaan diri yang tumbuh di dalam diri mereka.
Penulis : Aulia Aniz Syabily
A Photo by Marta Wave at Pexels.com