
Indonesia merupakan salah satu negara yang rawan terjadi bencana. Letak geografis Indonesia yang berada di jalur ring of fire atau zona pertemuan lempeng tektonik paling aktif membuat bencana gunung meletus sering terjadi di negara tercinta ini. Salah satu bencana letusan gunung berapi adalah awan panas Gunung Semeru di Kabupaten Lumajang pada tanggal 21 Desember 2021. Kerusakan alam yang diakibatkan oleh bencana ini membuat lebih dari 1900 keluarga harus berpindah ke rumah tinggal tetap sehingga menyebabkan para penyintas harus beradaptasi dengan lingkungan baru, termasuk mencari sumber pendapatan alternatif untuk menopang penghidupan mereka.
Artikel ini akan mengulas secara singkat hasil penelitian yang dilakukan oleh Intan Masruroh Setiawan dan Ibu Diana Setiyawati tentang bagaimana peran keberfungsian keluarga dalam upaya menumbuhkan harapan para penyintas bencana sehingga dapat mencapai post-traumatic growth (pertumbuhan pascatrauma).
Bencana dan Trauma
Peristiwa traumatik adalah kejadian atau pengalaman yang sangat mengguncang, menyakitkan, atau mengancam keselamatan fisik dan emosional seseorang. Erupsi gunung merapi merupakan salah satu contoh peristiwa traumatik karena kejadian buruk bencana berada di luar kemampuan individu dan masyarakat, hal ini karena para penyintas mengalami kerugian fisik, psikis, dan material. Belum lagi potensi stres tambahan yang timbul karena penyintas harus berpindah ke tempat baru yang pasti membutuhkan proses adaptasi.
Stres atau dampak psikologis mendalam dapat memicu timbulnya kecemasan dan depresi, bahkan dalam beberapa kasus para penyintas juga kerap mengalami gejala-gejala gangguan stres pascatrauma. Gejala ini dapat muncul dalam berbagai bentuk, seperti mengalami kilas balik atau mimpi buruk tentang kejadian traumatis, menghindari segala sesuatu yang mengingatkan pada bencana, terdapat perubahan mood dan pikiran yang lebih negatif, peningkatan kewaspadaan yang berlebihan, dan memiliki masalah kesehatan fisik.
Namun dalam beberapa kasus, ada juga penyintas yang justru mengalami pertumbuhan pasca trauma. Bagaimana hal ini bisa terjadi? Yuk simak uraian berikut ini.
Pertumbuhan Pascatrauma
Pertumbuhan pascatrauma adalah perubahan positif yang dialami individu setelah mengalami pengalaman traumatis, seperti bencana alam. Perubahan tersebut dapat berupa pengembangan konsep diri yang lebih positif, mendefinisikan ulang tujuan, memiliki hubungan interpersonal yang lebih dalam, menumbuhkan apresiasi yang lebih besar terhadap kehidupan, dan memiliki kehidupan spiritual yang lebih kuat. Individu yang mengalami pertumbuhan pascatraumatis mayoritas menunjukkan keberfungsian yang lebih tinggi daripada sebelum terjadinya peristiwa trauma.
Pertumbuhan pascatrauma memiliki manfaat yang besar bagi penyintas bencana alam, seperti menurunkan peluang terjadinya depresi dan meningkatkan kualitas hidup yang lebih baik. Ketika individu berhasil mengembangkan makna dan mengambil hikmah dari peristiwa yang dialami, maka kesejahteraan psikologis juga akan terbentuk dengan baik. Bahkan, pertumbuhan pascatrauma membentuk kesiapan individu dalam mengatasi permasalahan lain yang akan datang di masa mendatang.
Harapan
Harapan didefinisikan sebagai suatu keyakinan yang ada dalam diri seorang individu untuk menentukan tujuan dan merencanakan serta mempertahankan strategi tersebut untuk mencapai tujuan. Harapan menjadi pendorong individu untuk segera bangkit membangun ulang fondasi kehidupan yang awalnya runtuh. Individu dengan tingkat harapan yang tinggi cenderung bersikap optimis, memiliki self talk positif, gigih dalam mengatasi ujian, dan memandang kegagalan atau kemalangan sebagai peluang untuk tumbuh. Sebaliknya, individu dengan harapan rendah akan mudah merasa putus asa dengan tantangan yang sedang dihadapi.
Berdasarkan paparan dalam jurnal ini dinyatakan bahwa harapan diperkirakan dapat memicu pertumbuhan pascatrauma. Dalam konteks peristiwa bencana, harapan mampu mengalihkan individu dari peristiwa negatif sehingga proses adaptasi pascabencana berjalan lebih baik. Tinggi atau rendahnya harapan pada diri individu turut dipengaruhi oleh hubungan individu itu sendiri dengan orang-orang terdekat, salah satunya adalah keluarga.
Bagaimana hal ini bisa terjadi? Jangan berhenti sampai sini ya bacanya. Yuk, kita lanjut ke poin berikutnya.
Bagaimana Penelitian Ini Dilakukan?
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan jumlah partisipan sebanyak 180 orang penyintas erupsi Gunung Semeru 2021 yang tinggal di shelter relokasi permanen. Partisipan dipilih berdasarkan kriteria tertentu yaitu penyintas erupsi Gunung Semeru 2021, berusia 18 sampai dengan 60 tahun, dan mengalami secara langsung kejadian erupsi. Instrumen yang digunakan dalam penelitian adalah skala pertumbuhan pascatrauma, skala fungsi keluarga, dan skala harapan. Data penelitian dianalisis menggunakan mediasi sederhana.
Apa Saja yang Memengaruhi Pertumbuhan Pascatrauma?
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan diketahui bahwa harapan memengaruhi pertumbuhan pascatrauma, sementara harapan sangat dipengaruhi oleh keluarga yang berfungsi secara optimal. Keberfungsian keluarga merupakan kemampuan keluarga untuk menjalankan fungsi dasarnya secara efektif, yaitu menyediakan lingkungan bagi seluruh anggota keluarga untuk berkembang secara optimal, baik secara fisik, psikologis, maupun sosial. Keberfungsian keluarga juga mencakup bagaimana keluarga saling berinteraksi, bereaksi, dan memperlakukan satu sama lain.
Dalam situasi bencana, keluarga yang berfungsi dengan baik akan berusaha keras memenuhi kebutuhan keluarganya, terutama dalam hal afektif (kasih sayang). Seperti contohnya saling menguatkan, membantu, dan mendukung anggota keluarga yang lain untuk beradaptasi dengan kesulitan yang timbul. Keluarga yang berfungsi baik juga dapat ditunjukkan oleh ada atau tidaknya komunikasi yang efektif antar anggota keluarga.
Keberfungsian keluarga dapat menjadi salah satu faktor pendorong individu untuk mengalami pertumbuhan pascatrauma. Hal tersebut karena keberfungsian keluarga dapat meredakan stres dan depresi para penyintas bencana alam lalu mendorong mereka untuk lebih aktif dalam mengatur emosi negatif menjadi emosi positif.
Harapan yang menjadi mediator antara keberfungsian keluarga dan pertumbuhan pascatrauma merupakan pelindung kesehatan mental yang sangat penting dalam upaya transisi ke kondisi yang lebih baik. Individu dengan harapan yang tinggi akan berusaha mencari jalan utama atau alternatif guna menuju target tujuan. Dalam konteks penyintas erupsi Gunung Merapi, korban dengan tingkat harapan tinggi akan berusaha mencari pekerjaan lain untuk menghidupi keluarganya meskipun halangannya pekerjaan harus mempelajari skill baru.
Hasil penelitian ini menegaskan bahwa upaya pemulihan korban bencana alam tidak cukup jika hanya berfokus pada intervensi individu, namun juga perlu menyentuh orang-orang sekitar karena pertumbuhan pascatrauma bersifat relasional dan tergantung bagaimana kualitas hubungan dengan orang-orang sekitar seperti keluarga, persahabatan, ketersediaan kesempatan kerja, dan kemampuan untuk berpartisipasi dalam kegiatan sosial. Nah, keberfungsian keluarga ternyata dapat membantu ketercapaian pertumbuhan pacatrauma melalui kohesi (hubungan erat), fleksibilitas, dan komunikasi yang baik.
Kelemahan Penelitian
Meskipun penelitian ini memberikan perspektif baru dalam upaya pemulihan korban bencana alam, namun juga memiliki beberapa kelemahan. Di antaranya adalah:
- Penelitian ini hanya mengacu pada persepsi partisipan sebagai individu dalam keluarga, tanpa mempertimbangkan keberfungsian keluarga berdasarkan persepsi anggota keluarga lainnya.
- Penelitian ini khusus dilakukan pada korban erupsi Gunung Merapi Semeru, sehingga perlu berhati-hati saat ingin mengaplikasikan pada kejadian traumatis lainnya.
- Penelitian ini belum mempertimbangkan tingkatan peristiwa traumatis, sehingga memengaruhi dinamika pertumbuhan pada masing-masih korban.
Penelitian selanjutnya dapat dipertimbangan untuk menggunakan metode kualitatif sehingga diharapkan dapat memaparkan dinamika pertumbuhan pascatrauma, fungsi keluarga, dan harapan di antara penyintas bencana. Selain itu, pengambilan data juga dapat melibatkan anggota keluarga lainnya yang berpasangan guna mengetahui ketergantungan dalam anggota keluarga. Penelitian lebih lanjut juga dapat mengambil objek dari konteks bencana yang berbeda. Terakhir, tingkat keparahan peristiwa traumatis dapat dimasukkan sebagai upaya memahami pertumbuhan pascatrauma yang lebih komprehensif.
Sumber: https://journal1.uad.ac.id/index.php/Humanitas/article/download/835/569/6203
Penulis: Relung Fajar Sukmawati