• Tentang UGM
  • IT Center
  • Perpustakaan
  • LPPM UGM
Universitas Gadjah Mada UNIVERSITAS GADJAH MADA
KANAL PENGETAHUAN PSIKOLOGI
  • Beranda
  • Artikel Psikologi
  • 3 Minute Thesis
  • Podcast
  • Tokoh Psikologi
  • Beranda
  • Artikel Psikologi
  • Neurosains di Balik Kecanduan Media Sosial: Bagaimana Algoritma Memanipulasi Otak dan Perilaku Kita?

Neurosains di Balik Kecanduan Media Sosial: Bagaimana Algoritma Memanipulasi Otak dan Perilaku Kita?

  • Artikel Psikologi
  • 25 June 2025, 08.01
  • Oleh: Humas
  • 0

Pernahkah anda merasa kesulitan berhenti scroll social media, meskipun awalnya berniat membuka social media hanya 5-10 menit saja?

Ternyata ini kerap terjadi, terutama ketika aktivitas scrolling ini dilakukan tanpa tujuan yang jelas. Fakta menunjukkan bahwa Indonesia menempati urutan ketiga dalam jumlah pengguna media sosial aktif, dengan total mencapai 143 juta pengguna. Rata-rata, orang Indonesia menghabiskan sekitar 3 jam setiap hari untuk mengakses media sosial. Angka ini tentu sangat fantastis, bayangkan jika durasi tersebut dialihkan untuk kegiatan yang lebih produktif.

Nah, durasi yang tidak sebentar ini tentu ada pemicu di balik perilaku penggunaan social media  yang berlebih. Adanya Algoritma platform dirancang untuk memicu reward system di otak, mirip dengan mekanisme kecanduan. Sehingga ini cukup membuat sistem di otak untuk kembali lagi dan lagi ke dalam sirkel kecanduan social media.

Bagaimana tidak? Aktivitas bersama social media menjadi shortcut ketika terdapat waktu luang, misal jeda dari bekerja, lelah setelah beberapa waktu berkonsentrasi dengan tugas yang membutuhkan fokus tinggi, menunggu lift, menggunakan transportasi umum, bahkan ketika mengobrol atau berinteraksi dengan orang lain terkadang kita masih bisa berbagi fokus sambil membuka social media.

Lantas bagaimana Algoritma social media itu bekerja?

Ketika kita mengakses social media, sebagaimana konten yang kita sukai, durasi tonton, interaksi dengan konten ini dapat memicu dopamin (dopamine shoot) yang dengan instan dapat membangkitkan rasa bahagia kita. Dopamin adalah neurotransmitter yang merupakan kunci dalam sistem reward otak, terutama pada mesolimbic pathway. Sebagaimana proses yang terjadi yakni pada area otak tengah (Ventral Tegmental Area) yang memproduksi dopamine dapat teraktivasi oleh stimulus yang tak terduga seperti adanya notifikasi ataupun like yang membangkitkan kesenangan dan memunculkan motivasi atau reinforcement. Sehingga dalam penggunaan social media otak kita merespon mirip dengan respons kita terhadap uang atau makanan. Ketika algoritma social media  memberikan variable rewards berupa konten lucu dan relatable, likes, ataupun pesan baru maka Nucleus Accumbens melepaskan dopamine yang menciptakan siklus craving dan seeking behavior  dengan cara scrolling compulsive beranda media sosial hingga tersadar sudah banyak waktu yang terpakai.

Berdasarkan teori Reward System dari B.F. Skinner, perilaku manusia dapat dibentuk melalui penguatan (reinforcement). Salah satu contohnya terlihat dari cara algoritma media sosial bekerja. Contoh, ketika kita menyukai konten kucing lucu, algoritma akan melacak preferensi tersebut dan menyisipkan lebih banyak konten serupa ke dalam linimasa kita. Pola ini memicu pelepasan dopamine, zat kimia yang memberikan rasa senang dan puas.

Menariknya, tidak semua konten selalu memberikan kepuasan. Namun justru karena adanya ketidakpastian itulah kita terdorong untuk terus mencari, menelusuri, dan scrolling konten-konten lainnya. Fitur seperti auto-play di media sosial turut memperparah kondisi ini dengan menghilangkan sinyal alami  (stopping cues) untuk berhenti sehingga otak kita kesulitan mengatur waktu dan menghentikan aktivitas tersebut.

Menurut Afra et al. (2024) dalam Jurnal Brain Imaging and Behavior, hasil penelitian dengan menggunakan fMRI menunjukkan bahwa aktivitas pengguna media sosial dikaitkan dengan penurunan functional connectivity pada jaringan kontrol eksekutif dan frontoparietal network. Jaringan ini berperan penting dalam fungsi-fungsi kognitif seperti pengambilan keputusan, kontrol inhibisi, dan perencanaan. Temuan ini sejalan dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang menunjukkan lemahnya kontrol kognitif pada individu dengan kecanduan teknologi.

Kondisi tersebut menyebabkan penurunan kemampuan dalam mengendalikan impuls serta membuat proses pengambilan keputusan menjadi lebih lemah, terutama akibat overstimulasi dopamine. Dampaknya, individu menjadi lebih sulit untuk fokus, cenderung menunda pekerjaan (prokrastinasi), dan menunjukkan tingkat impulsivitas yang tinggi. Salah satu manifestasinya adalah FOMO (fear of missing out), yaitu ketakutan akan ketinggalan informasi, yang berkaitan dengan peningkatan aktivitas berlebih pada amygdala, bagian otak yang memproses emosi dan rasa cemas.

Tak hanya itu, penurunan kesehatan mental juga dapat terjadi ketika penggunaan social media yang berlebih, sebagaimana adanya peningkatan anxiety, depresi, dan body dysmorphia terkhusus pada kalangan remaja. Karena dalam mengakses social media seringkali banyak yang tampak adalah standar tertentu dalam hal lifestyle ataupun fashion yang menstimulus otak agar melakukan hal yang serupa dengan apa yang dilihatnya. Kalau dalam bahasa yang sedang tren adalah “hidup dengan standar tiktok…” padahal seharusnya setiap individu punya value, standar, dan kemampuan masing-masing dalam menjalani kehidupan tak terpatok dalam acuan tertentu. 

Menurut Sri Kusrohmaniah dkk. (2024), seorang dosen sekaligus pakar di bidang neuropsikologi, hasil risetnya menunjukkan bahwa penggunaan media sosial dapat menurunkan volume grey matter pada bagian amygdala, yang kemudian berdampak pada fungsi hippocampus. Hal ini berkaitan langsung dengan penurunan kemampuan konsentrasi serta munculnya kecenderungan perilaku adiktif.

Selain itu, media sosial juga menciptakan fenomena echo chamber dan polarisasi sosial. Algoritma bekerja dengan memperkuat confirmation bias, yaitu kecenderungan otak untuk lebih menerima informasi yang sejalan dengan keyakinan yang sudah dimiliki. Akibatnya, otak terbiasa dengan pola berpikir yang instan dan cepat, tanpa perlu menghabiskan waktu lama untuk memproses satu informasi secara mendalam.

Kebiasaan ini berdampak negatif terhadap fungsi prefrontal cortex—bagian otak yang bertanggung jawab atas kontrol impuls, pengambilan keputusan, perencanaan, dan penghambatan respons impulsif. Dengan kata lain, semakin sering otak terpapar pola konsumsi instan, semakin menurun pula kemampuan self-control kita dalam kehidupan sehari-hari.

Beberapa hal yang dapat dilakukan dalam meminimalisir penggunaan social media yang berlebih:

  1. Nonaktifkan notifikasi sebagai cara meminimalisir cue-induced craving yang memicu aktivitas dopamine.
  2. Minimalisisr sedentary lifestyle dengan memperbanyak olahraga, karena ini dapat meningkatkan produksi BDNF (Brain derived neurotrophic factor) yakni protein yang memegang peran penring yang berfungsi memperbaiki kinerja  neuron khususnya dalam prefrontal cortex dalam menjalankan perannya.
  3. Latih prefrontal cortex (PFC) untuk terus aktif dengan melakukan kebiasaan baru seperti: 
    • Journaling dengan tulis tangan (misal mencatat hal yang disyukuri ataupun planning harian atau mingguan dst). Kebiasaan menulis tangan dapat mengaktifkan PFC dengan lebih baik.
    • Bermain permainan yang membutuhkan strategi dan problem solving. Aktivitas ini seperti catur atau puzzle, sehingga otak dilatih untuk konsentrasi dan fokus pemecahan masalah dan strategi yang dibuat dalam permainan tersebut.
    • Mempelajari bahasa baru. Misalnya meluangkan waktu 10-15 menit perhari untuk mendengarkan podcast bahasa inggris dan berusaha memahami maknanya atau belajar bahasa inggris via aplikasi duolingo dan sejenisnya.
  • Deep reading atau membaca kritis lebih dalam. Aktivitas ini bermanfaat untuk melatih otak berdialog dengan apa yang dibaca sehingga memunculkan insight , hal yang terpenting yakni mencatat beberapa poin penting yang telah kita baca sebagai sintesis informasi.
  • Delay gratification atau menunda kebiasaan dengan tujuan memberi reward khususnya pada diri sendiri. Misalnya dengan jika ingin mengonsumsi makanan yang manis-manis kita harus menyelesaikan membaca artikel ataupun resources lain yang meningkatkan value diri kita, dst.
  1. Digital detox yakni mengistirahatkan diri misal 15-30 menit setelah 1 jam penggunaan untuk mengembalikan sensitivitas reseptor dopamine. Hal ini dapat meningkatkan self awareness melalui self monitoring prefrontal cortext
  2. Subtitusi keinginan beraktivitas dengan social media  menjadi aktivitas offline misal berolahraga, memasak, membaca buku, atau aktivitas lainnya yang menyenangkan dan lebih produktif serta sebagai pemulihan kognitif
  3. Gunakan timer dalam penggunaan social media, atau setting menutup otomatis ketika rentang waktu penggunaan yang diatur sudah mencapai batas.

Semoga beberapa tips diatas dapat lebih menyadarkan kita sebagai pengguna media sosial untuk lebih bijak dalam menggunakannya. Hal ini dikarenakan platform media sosial dirancang untuk memengaruhi perilaku pengguna dengan memanfaatkan prinsip psikologi dan neurosains guna menangkap perhatian kita dan membuat kita terus kembali. Pengalaman bermedia sosial setiap orang disesuaikan berdasarkan minat dan aktivitas online mereka mulai dari rekomendasi pertemanan hingga konten dan iklan yang muncul.

Media sosial  juga seperti 2 buah mata pisau yakni dapat menjadi alat komunikasi yang powerful, bermanfaat sekaligus berisiko. Sebagai pengguna, penting bagi kita untuk memahami bagaimana data kita digunakan dan bagaimana algoritma bekerja. Dengan kesadaran ini, kita bisa lebih bijak dalam mengonsumsi konten dan melindungi diri dari manipulasi digital yang tak terlihat. Yuk tingkatkan self-awareness kita…

 

Penulis: Aulia Aniz Syabily

Tags: artikelpsikologi psikologiugm SDG 12: Konsumsi dan produksi yang bertanggung jawab SDG 16: Perdamaian Keadilan dan Kelembagaan yang Tangguh SDG 3: Kehidupan Sehat dan Sejahtera SDG 4: Pendidikan Berkualitas SDGs
Universitas Gadjah Mada

Fakultas Psikologi
Universitas Gadjah Mada
Jl. Sosio Humaniora Bulaksumur
Yogyakarta 55281 Indonesia
fpsi[at]ugm.ac.id
+62 (274) 550435 ext 158
+62 (274) 550435

© Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY

[EN] We use cookies to help our viewer get the best experience on our website. -- [ID] Kami menggunakan cookie untuk membantu pengunjung kami mendapatkan pengalaman terbaik di situs web kami.I Agree / Saya Setuju