Belakangan ini, sosial media marak dibanjiri dengan konten olahraga, mulai dari gym, lari, tenis, golf, yoga, pilates, berkuda, dan masih banyak lagi. Tren ragam komunitas olahraga yang ramai saat ini merupakan salah satu bukti akan meningkatnya kesadaran masyarakat dalam menjaga kesehatan. Dilansir dari medical wellness Indonesia 2024, masyarakat Indonesia semakin sadar akan menjaga kesehatan secara optimal, salah satunya dengan berolahraga. Perlu diketahui juga, bahwa kegemaran terhadap olahraga merupakan salah satu bentuk dari coping mechanism loh!
psikologiugm
Para politisi seringkali menggunakan berbagai cara untuk memenangkan suara selama kampanye pemilihan umum. Beberapa di antaranya mencakup pemanfaatan popularitas partai dan pemimpin, representasi diri sebagai pelindung identitas nasional dan bahkan keberagamaan, serta membentuk koalisi dengan partai lain. Para aktor politik sering kali didorong oleh motivasi untuk meningkatkan elektabilitas mereka di hadapan masyarakat untuk memimpin masyarakat ke arah tertentu.
Namun, dalam sebagian besar negara demokrasi, politik merupakan hal yang komprehensif karena melibatkan aktor politik maupun warga negara yang memainkan peran penting dalam memilih politisi untuk menduduki jabatan pemerintahan. Oleh sebab itu, penyelesaian permasalahan sosial menjadi tujuan bersama. Sebuah pertanyaan muncul tentang bagaimana warga negara dan politisi membentuk keputusan politik yang penting. Bidang psikologi politik memiliki berbagai pendekatan untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Dewasa ini, dinamika kampanye politik mengalami perubahan yang cukup signifikan dengan hadirnya media. Lihat saja, seluruh kegiatan persuasi dan pengenalan tokoh politik kepada masyarakat yang dulu kerap dilakukan dengan kegiatan fisik seperti konvoi hingga orasi di kerumunan saat ini tergantikan dengan narasi-narasi manis beserta ilustrasi asik yang termuat di media massa. Maka tak heran jika saat ini media acapkali disebut sebagai kunci rahasia dari kesuksesan kampanye politik. Tapi sebenarnya, bagaimana cara media memengaruhi pembentukan opini pada masyarakat? Jawabannya dapat kita cermati melalui analisis Elaboration Likelihood Model (ELM).
“Kayaknya aku gak layak deh!”
“Kok aku gak kayak yang lain ya?”
Hayo! Siapa yang sering kayak gitu? Nah, perilaku tersebut sering kita jumpai di berbagai kalangan seperti remaja sampai dewasa. Wajar jika kita mengalami kesulitan dan tidak melakukan apapun secara sempurna dalam kehidupan sehari-hari sehingga menimbulkan perilaku membanding-bandingkan diri sendiri dengan orang lain. Hal ini disebut dengan insecure. Perasaan insecure adalah sebuah perasaan ragu, tidak percaya diri, dan cemas yang dapat mengganggu berbagai aspek kehidupan. Bagaimana tidak? Orang yang insecure akan membandingkan dirinya dengan pencapaian orang lain sehingga menganggap bahwa dirinya tidak layak dan tidak mampu.
Kita seringkali mencari cinta dari orang lain sebelum mencarinya dalam diri sendiri. Namun, banyak yang mulai mengalihkan fokus tersebut ke dalam diri sendiri saat merenungkan makna dan tujuan self-love. Meskipun bukan istilah baru, konsep self-love semakin popular dalam beberapa tahun terakhir. Banyak yang mulai menyadari hubungan antara self-love dan kesehatan mental. Lebih jauh lagi, banyak orang merasakan keadaan di mana mereka membutuhkan cinta dari diri sendiri sebesar cinta yang dibutuhkan dari orang lain. Seringkali, kritik terhadap konsep self-love muncul. Namun, kritik ini didasarkan pada kesalahpahaman. Untuk membantu memperjelas, mari kita perjelas apa yang bukan termasuk self-love namun sering disalahpahami sebagai self-love.
Pernahkah kalian merasa bahwa saat menggunakan media sosial, kalian menjadi sosok yang lain? Apakah kalian menjadi lebih bebas dalam mengutarakan sesuatu di media sosial dibanding di dunia nyata? Jika iya, kalian sedang merasakan online disinhibition effect.
Nah, apa sih online disinhibition effect itu?
Istilah online disinhibition effect pertama kali diperkenalkan oleh John Suler pada 2004. Ia mengungkapkan bahwa online disinhibition effect merupakan suatu kondisi akibat berkurangnya kekangan saat seseorang berada di media sosial. Orang-orang menjadi lebih terbuka, nyaman, dan bebas dalam mengekspresikan diri mereka. Oleh karena itu, saat bermedia sosial, orang dapat mengungkapkan dan melakukan hal-hal yang tidak dilakukan di dunia nyata.
Kita sering berbicara tentang oversharing dan hilangnya personal space di media sosial. Namun, apa perbedaan antara sharing dengan oversharing? Penelitian tentang pengungkapan diri (sharing) menunjukkan bahwa kita lebih menyukai satu sama lain ketika kita berbagi, tetapi di sisi lain, pengungkapan diri yang dianggap tidak pantas secara sosial akan mengurangi rasa suka. Namun, bagaimana batasan hal yang kita bagikan di media sosial dapat memengaruhi cara pandang orang lain? Berikut ini merupakan beberapa saran yang didukung oleh penelitian tentang apa yang seharusnya dan tidak seharusnya kita bagikan di media sosial.
Jika dilihat dengan seksama di lingkungan sekitar kita, batas-batas terlihat sekedar berlaku sebagai pemisah antara dua bidang. Tembok yang memisahkan dua buah bangunan atau batas wilayah yang terpisahkan oleh sungai. Merefleksikan ke dalam diri kita, ternyata membangun batasan juga diperlukan dalam konteks manusia. Pada kehidupan sosial yang kompleks ini, terhubung dan membangun relasi dengan individu lain menjadi kebutuhan yang tidak terpisahkan. Namun, acapkali kita terjebak dalam lingkaran yang tidak berujung dimana kita terlalu banyak menyerap beban di luar tanggung jawab kita. Melelahkan bukan? Namun, penting untuk diingat bahwa setiap individu memiliki kebutuhan dan preferensi yang berbeda sesuai dengan nilai-nilai yang dianutnya.
Pada Mei 2023, media sosial diramaikan dengan pemberitaan bahwa Indonesia menempati peringkat ketiga di dunia sebagai fatherless country. Meskipun setelah ditilik lebih lanjut tidak ada publikasi ilmiah yang jelas terkait peringkat itu, tapi fenomena ini tetap perlu mendapat sorotan karena faktanya masih banyak anak di Indonesia yang tumbuh dan berkembang tanpa figur ayah. Hal ini terbukti dari survei yang dirilis KPAI pada 2015 yang menunjukkan bahwa keterlibatan ayah dalam pengasuhan anak masih tergolong kurang. Kurang dari 40% ayah yang mencari informasi terkait praktik pengasuhan anak yang baik. Praktik pengasuhan anak oleh ayah pada fase awal kehidupan anak hanya 69,9%, lebih rendah dari ibu yang sebesar 89,9%. Selain itu, banyak ayah yang ditemui kurang aktif dan inisiatif dalam berdiskusi dengan anak.
Memiliki hidup yang sukses dan bahagia adalah impian bagi semua orang. Ekonomi yang stabil, keluarga yang harmonis, hobi tetap bisa dilakukan, pekerjaan terasa bermakna, dan diri sendiri dapat merasakan ketenangan sekaligus gairah dalam menjalani hidup. Di samping itu, era digitalisasi membawa teknologi dan internet yang kian maju pesat. Salah satu inovasi hasil dari kemajuan tersebut adalah media sosial.
Saat ini, media sosial menjadi suatu hal yang seakan wajib dimiliki semua manusia. Hambatan karena perbedaan waktu dan lokasi telah teratasi dengan adanya media sosial. Bukan hanya itu, media sosial membuat kita bisa mendapatkan ekstra hormon kebahagiaan dopamin dengan cepat dan praktis hanya dengan menggerakkan jari di ponsel pintar. Tingkat aksesibilitasnya yang tinggi membuat kita dapat terhubung dengan mudah pada orang-orang yang berada di tempat yang jauh dari kita.