Apakah kalian pernah membaca chat seperti “Baik. Terima kasih pak/bu 🙏”, “menty b banget hari ini.” atau “iyaa siih” ?
Bagi generasi sebelum Gen Z, bahasa atau gaya komunikasi yang digunakan Gen Z itu membingungkan. Lalu, kenapa sih Gen Z punya gaya komunikasi yang berbeda dengan generasi mereka?
Gen Z lebih banyak berkomunikasi lewat sosial media seperti Tik Tok, Instagram, dan X daripada generasi sebelumnya. Bahkan, sosial media seolah-olah menjadi kehidupan kedua bagi mereka karena mereka sangat aktif menggunakan sosial media. Sosial media menjadi salah satu faktor penyebab dari perbedaan gaya komunikasi mereka dengan generasi sebelumnya yang menggunakan struktur kalimat kompleks dan panjang dan cenderung formal.
Sosial media yang ada seperti Tik Tok, Instagram dan X digunakan sebagai tempat untuk mengobrol, menunjukkan perasaan, dan bahkan mengekspresikan diri. Sosial media membuat gaya komunikasi mereka menjadi lebih cepat, ringkas, dan lebih banyak memiliki konten visual atau video dibandingkan teks. Hal tersebut yang menjadi salah satu alasan mereka banyak menggunakan meme atau emoji yang lebih menggambarkan pesan yang mereka ingin utarakan lewat visual. Seperti penggunaan emoji 🙏 yang mewakili ekspresi memohon ijin kepada penerima pesan.
Dunia digital yang serba cepat juga menjadi alasan mengapa Gen Z lebih senang menggunakan istilah atau singkatan saat berkomunikasi. Karena dengan istilah atau singkatan dapat membuat penyampaian pesan dapat lebih ringkas dan langsung ke intinya/to the point. Contohnya seperti penggunaan singkatan OTW untuk meringkas kalimat on the way (sedang dalam perjalanan) atau penggunaan istilah menty b untuk menggambarkan seseorang yang sedang mengalami mental breakdown.
Gaya bahasa Gen Z yang nyeleneh juga menjadi cara mereka menyampaikan emosi yang ingin mereka sampaikan. Contohnya saja, penggunaan kata yang menggunakan huruf kapital seperti “MASA SIH?” bisa menunjukkan ekspresi marah atau terkejut tergantung konteks kalimatnya. Selain itu, mereka juga kadang menggunakan ejaan typo yang sengaja mereka tambahkan atau suffixation. Penambahan huruf dari kata yang sudah ada bertujuan untuk mengubah atau menambah makna dari kata yang sudah ada tersebut. Contohnya perbedaan kata “aku cape banget” dan “aku capee bangeet”. Kedua kata itu menjadi berbeda maknanya karena dengan penambahan huruf, terdapat penekanan makna dari rasa lelahnya.
Gaya bahasa Gen Z juga menunjukkan kedekatan antara pengirim dan penerima pesan. Mereka dapat menggunakan istilah, singkatan, typo, emoji ataupun meme dalam pesan jika mereka memiliki kedekatan dengan partner chatnya. Pesan yang mereka sampaikan jika tidak melihat konteks dan kedekatan, akan dinilai berbeda dari sudut pandang orang lain. Seperti penggunaan istilah-istilah psikologis seperti menty b, delulu, trauma yang mungkin dimaksudkan untuk menyampaikan keadaan emosi seseorang/curhat dan bukan sebuah gejala psikologis yang serius.
Berdasarkan hal tersebut, bisa kita pahami bahwa Gen Z memiliki kesadaran kesehatan mental yang cukup tinggi. Akan tetapi, perlu dipahami bahwa istilah-istilah psikologi klinis ini perlu digunakan dengan bijak agar tidak menjadi self diagnose. Padahal, pemberian label gangguan mental seperti depresi, delusi, trauma dan istilah lainnya hanya bisa diberikan oleh psikolog klinis maupun psikiater.
Gaya bahasa Gen Z memang beda, bahkan kadang terasa nyeleneh. Tapi justru di balik itu semua, ada cara berpikir baru yang lebih ekspresif, cepat, penuh kreativitas dan sangat kontekstual. Dengan kita memahami keberagaman, akan lebih mungkin bagi kita terhubung dengan lingkungan yang lebih luas.
Penulis : Aida Nabila