Pernahkah kamu merasa bahwa media sosial seolah-olah tahu apa yang kamu pikirkan? Setiap kali kamu scrolling laman media sosial, muncul konten dan info-info yang relevan satu sama lain.
Kok bisa sih?
Ini bukanlah kebetulan, melainkan hasil kerja keras algoritma yang dirancang untuk memahami kebiasaan kita. Sebenarnya, seberapa besar sih pengaruh algoritma ini? Apakah kita selalu punya kendali dalam melihat informasi atau justru algoritma yang diam-diam membentuk perilaku kita? Yuk, kita kupas lebih lanjut bagaimana algoritma bekerja dan dampaknya bagi keseharian kita.
Apa itu algoritma?
Algoritma merupakan serangkaian instruksi atau langkah yang terstruktur yang digunakan untuk memecahkan masalah. Dalam konteks media sosial, algoritma bekerja dengan menganalisis data pengguna media sosial, seperti likes, shares, comment, durasi waktu, hingga topik pada suatu unggahan untuk menilai minat pengguna.
Dengan data tersebut, algoritma menggunakan teknik machine learning dan artificial intelligence untuk menganalisis data. Algoritma mencoba mengenali pola perilaku pengguna dan menentukan konten mana yang paling sesuai untuk ditampilkan pada halaman beranda pengguna. Algoritma juga memprioritaskan konten paling relevan untuk ditampilkan lebih banyak. Tidak hanya itu, setiap interaksi yang dilakukan pengguna akan memperbarui model algoritma. Misalnya, jika pengguna terus berinteraksi dengan jenis konten tertentu, algoritma akan menonjolkan konten yang serupa yang kemudian menciptakan sebuah loop di mana algoritma terus belajar dan menyesuaikan konten media sosial berdasar perilaku terbaru pengguna.
Setiap platform media sosial memiliki algoritma yang berbeda sesuai dengan tujuan dari platform tersebut. Misalnya, Instagram menilai jumlah interaksi pengguna dengan konten tertentu, Twitter menilai konten berdasar kronologi waktu dan relevansi, sementara TikTok sangat menekankan pada waktu tontonan dan pola interaksi pengguna. Namun, tujuan utama algoritma tetap sama: mempertahankan perhatian pengguna selama mungkin.
Lantas, dengan cara kerjanya ini, bagaimana saja dampak algoritma?
- Terciptanya echo chamber dan filter bubble
Echo chamber merupakan sebuah situasi dimana keyakinan yang sudah ada terus diulang dan diperkuat layaknya echo (gema). Fenomena ini terjadi ketika pengguna hanya terpapar pada pandangan yang serupa dengan keyakinan mereka sendiri, sehingga jarang terpapar pada gagasan lain yang bertentangan. Proses ini diperburuk oleh penyaringan informasi yang relevan atau tidak oleh algoritma berdasarkan riwayat perilaku pengguna yang dikenal sebagai filter bubble.
Akibatnya, pengguna terisolasi dalam gelembung informasi yang dikhususkan bagi dirinya dan terbatas dari paparan ide yang beragam. Kondisi ini berpotensi merusak lingkungan digital yang idealnya digunakan untuk mencari berbagai informasi, bertukar pendapat, dan membentuk opini. Ini dapat menghambat pemikiran kritis, mengurangi toleransi terhadap perbedaan pendapat, dan mempersulit terjadinya dialog konstruktif antar kelompok dengan perbedaan pandangan, karena masing-masing hidup dalam realitas informasi yang terpisah.
- Adiksi media sosial berlebih
Algoritma bekerja untuk memaksimalkan keterlibatan pengguna dalam suatu platform. Dengan mempelajari konten seperti apa yang disukai pengguna, pengguna akan terdorong untuk kembali ke platform. Dengan terus menerus menyajikan konten yang dipersonalisasi, algoritma menciptakan siklus yang membuat pengguna merasa “harus” terus memeriksa informasi di suatu platform dan menimbulkan perasaan fear of missing out.
Adiksi ini membawa berbagai dampak negatif, mulai dari dampak psikologis dengan meningkatkan risiko kecemasan, perasaan kesepian, dan self image yang buruk, lalu mengacaukan pola tidur, hingga mengganggu produktivitas karena waktu dan fokus tersita oleh media sosial.
- Polarisasi dan misinformasi
Algoritma media sosial dapat memperburuk polarisasi masyarakat dan mempercepat penyebaran misinformasi. Hal ini terjadi karena algoritma cenderung memprioritaskan konten yang menghasilkan engagement tinggi dan cenderung sensasional untuk mendapatkan jangkauan yang lebih luas. Dengan terus memunculkan konten semacam itu, ini akan mereduksi lingkungan digital yang sehat dan bermakna.
Selain itu, dalam konteks misinformasi seperti hoaks, algoritma dapat menjadi alat penyebaran hoaks yang cepat. Ketika suatu hoaks mulai mendapatkan traksi awal melalui interaksi pengguna, algoritma dapat mengidentifikasinya sebagai konten populer dan menyebarkannya ke audiens yang lebih luas. Ditambah dengan efek echo chamber, individu yang sudah memiliki bias tertentu akan lebih mudah menerima dan menyebarkan misinformasi yang sejalan dengan keyakinannya, yang menciptakan siklus berbahaya.
Oleh karena itu, kita perlu meminimalkan risiko dari dampak buruk algoritma dengan menerapkan sejumlah langkah, seperti:
- Aktif mencari akun atau sumber informasi lain dengan latar belakang yang beragam supaya tidak terjebak dalam echo chamber
- Tetap berpikir kritis dengan mempertanyakan kebenaran dan sumber informasi terutama untuk konten-konten yang viral
- Menerapkan batasan waktu penggunaan media sosial dengan memanfaatkan fitur pengingat waktu
- Memprioritaskan interaksi yang berkualitas dengan pengguna lain
- Mengambil jeda dari media sosial untuk memberi ruang pada aktivitas lain yang berkualitas dan mengurangi adiksi media sosial
Algoritma adalah bagian teknologi yang telah mengubah cara kita mendapat informasi dan melihat dunia. Di satu sisi, algoritma mampu menyajikan konten yang begitu personal sehingga pengalaman kita menggunakan media sosial menjadi efisien dan menghibur. Namun, dampak buruk dari cara kerja algoritma perlu diwaspadai. Kita dapat mengembangkan sikap yang lebih kritis terhadap informasi yang kita konsumsi, lebih bijak dalam mengatur interaksi di media sosial, serta lebih proaktif dalam mencari perspektif di luar gelembung informasi kita. Pada akhirnya, kita masih memiliki kendali atas bagaimana teknologi mempengaruhi hidup kita dengan menggunakan media sosial secara lebih sehat dan bertanggung jawab.
Penulis: Shafa Salsabilla