
Siapa, sih, manusia yang tidak mencintai dirinya sendiri? Manusia selalu memiliki rasa cinta terhadap dirinya. Hanya saja, kadar cinta setiap individu berbeda. Ada yang kadar self love-nya rendah sehingga ia cenderung memandang negatif dirinya, menganggapnya sebagai sosok yang hanya penuh kekurangan tanpa sedikitpun kelebihan. Di lain sisi, ada juga manusia yang rasa cinta terhadap dirinya sangat tinggi. Akibatnya, ia tumbuh menjadi sosok egois yang minim empati terhadap orang lain.
Apa itu self love? Bagaimana agar self love tidak menjadi berlebihan? Bagaimana konsep selfless dan pengaruhnya bagi kehidupan ini? Apakah selfless sama dengan people pleasure? Yuk, baca artikel ini sampai tuntas.
Definisi Self Love
Self love hanyalah istilah yang berkembang dalam psikologi modern dan semakin populer di kalangan masyarakat saat ini. Wajar saja jika definisi self love tidak akan pernah dapat kita temui di definisi para tokoh psikologi karena memang tidak ada satupun individu yang dilabeli sebagai penemu konsep ini. Namun, terdapat beberapa tokoh penting dalam psikologi yang mengembangkan gagasan yang berkaitan dengan self love. Gagasan para tokoh tersebut akan membangun paradigma berpikir kita tentang self love.
Pertama yakni konsep self acceptance (penerimaan diri) yang digagas oleh Carl Rogers, seorang tokoh utama psikologi humanistik. Rogers menyatakan bahwa untuk mencapai potensi terbaiknya, manusia perlu untuk menerima secara utuh dirinya tanpa syarat apapun. Saat manusia mampu menerima kondisi dirinya, baik kelebihan maupun kekurangannya, maka ia akan merasakan kesejahteraan emosional.
Konsep kedua adalah self esteem (harga diri) yang dicetuskan oleh Nathaniel Branden. Branden mengemukakan bahwa harga diri terdiri dari dua elemen utama, yaitu rasa layak dan rasa kompetensi. Rasa layak berhubungan dengan sejauh mana seorang individu yakin bahwa dirinya layak untuk bahagia, sukses, dan dihormati terlepas dari semua kekurangan dan kesalahan yang pernah dibuatnya. Elemen rasa kompetensi mencakup kepercayaan diri untuk menyelesaikan tugas harian sekaligus tantangan kehidupan.
Selanjutnya terdapat pula konsep self compassion (belas kasih pada diri sendiri) yang dikembangkan oleh Kristin Neff. Belas kasih pada diri sendiri dibutuhkan terutama saat diri sedang mengalami kegagalan. Alih-alih mengkritik diri dengan sangat keras saat gagal, seseorang yang memiliki belas kasih pada diri sendiri akan lebih memilih untuk berkata, “Kegagalan ini memang menyakitkan, tetapi semua orang pasti mengalami kegagalan. Saya akan belajar dari pengalaman ini dan memberikan diri saya izin untuk memperbaiki kesalahan”.
Ada pula konsep authenticity (keaslian diri) oleh Brene Brown. Nah, keaslian diri ini sangat erat kaitannya dengan menjadi diri sendiri yang asli, jujur, dan tidak terpengaruh oleh ekspektasi atau penilaian orang lain. Agama juga menegaskan pentingnya mengenal diri sendiri yang asli, karena ia dapat menjadi jalan untuk lebih memahami tujuan hidup serta memperbaiki hubungan dengan Tuhan sekaligus sesama manusia.
Berdasarkan pemaparan tentang konsep psikologi yang erat kaitannya dengan self love, kita dapat memahami bahwa self love sangat dekat dengan perasaan cukup pada diri sendiri. Ringkasnya, self love muncul saat seseorang mampu mengenal dirinya dengan baik, menerima setiap kelebihan dan kekurangan yang dimiliki, menghargai diri sendiri, dan memberikan cinta kasih pada diri dengan ikhlas tanpa syarat apapun.
Waspada Self Love Berlebihan
Self love memang baik karena ia mencakup cinta dan perhatian terhadap diri sendiri, namun bisa jadi berbahaya ketika ia dimaknai dan dipersepsikan sebagai pride of self (kekaguman yang besar pada diri sendiri). Ketika hal ini terjadi, maka akibatnya akan terjadi self centered yang mana di dalamnya terdapat egoisme, obsesi diri, sangat fokus terhadap diri sendiri, dan mementingkan diri sendiri. Orang yang memiliki self love ekstrem cenderung memanfaatkan segala sesuatu yang ada di sekitarnya untuk mencapai ambisi yang diinginkan.
Self love ekstrem perlu diwaspadai karena dapat memicu timbulnya permasalahan psikis yang lebih parah, seperti contohnya Narcissistic Personality Disorder (NPD). NPD ditandai dengan adanya pikiran dan perilaku sombong, manipulatif, tidak memiliki empati, merasa ada kebutuhan untuk dikagumi, merasa dirinya harus menjadi pusat, dan menyeru orang lain untuk mendengarkan dirinya. Selain NPD, gangguan kepribadian yang erat kaitannya dengan self centered adalah psikopat, sosiopat, bipolar, dsb.
“Wah, berarti semisal ada orang yang egois banget, maka dapat diartikan dia memiliki indikasi gangguan kepribadian, dong? Contohnya, orang yang lebih mementingkan me time dengan dalih self love padahal sebenarnya dia harus menghadiri rapat atau kepentingan umum lainnya”.
Eits, tidak segampang itu, ya. Gangguan kepribadian dapat ditegakkan hanya oleh tenaga profesional, yaitu psikolog klinis atau psikiater. Jadi, jangan asal menuduh orang-orang sekitar yang menurut pandangan kita egois sebagai pengidap gangguan kepribadian tertentu, ya.
Nah, di pembahasan berikutnya mari membahas tentang konsep selfless. Hm, kok kontradiksi ya dengan self love? Memang secara sekilas terdengar kontradiksi, namun sebenarnya selfless merupakan sebuah topik yang berkembang di literatur psikologi yang menekankan tentang perilaku tanpa pamrih. Selfless bisa menjadi opsi untuk meruntuhkan benteng keegoisan pada diri manusia. Menariknya, selfless juga dibahas pada literatur keagamaan. Penasaran, kan? Yuk, simak bareng-bareng paparan berikut.
Mengenal Konsep Selflessness
Teman-teman pasti percaya bahwa cara pandang manusia turut dilatarbelakangi oleh peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam hidupnya. Kemudian, cara seseorang berpikir dan memandang sesuatu juga memengaruhinya dalam bersikap. Contoh, kehidupan pasca kematian. Bagi manusia yang tidak percaya maka ia akan menjadikan kehidupan sebagai ajang untuk menjadi yang tercantik, terkaya, tersukses, terbesar, dan ter- lainnya sampai menghalalkan segala macam cara hanya demi memuaskan ambisi hidupnya. Lain halnya dengan orang yang percaya bahwa terdapat kehidupan setelah kematian, ia akan mencoba menjalani hidup dengan bijak, hati-hati, tidak terlalu mengambisikan dunia, dan meyakini bahwa tidak ada manusia besar selain Tuhan yang Maha Besar.
Psikologi mengkaji sebuah topik yang masih belum dipahami oleh banyak orang, yakni selflessness. Selflessness adalah sikap tulus yang menempatkan kepentingan orang lain di atas kepentingan pribadi tanpa mengharapkan balasan. Selflessness mencerminkan empati, kepedulian, dan ketulusan hati, namun tetap perlu dijalani dengan bijak agar tidak mengabaikan kebutuhan diri sendiri. Selflessness tidak menganggap dirinya penting dan tidak membesar-besarkan diri karena ia lebih condong ke karakteristik ikhlas, penghormatan, empati, kasih sayang, dan pencarian harmoni.
Semua agama, salah satunya Islam, telah terlebih dahulu mengajarkan urgensi selflessness sebelum dibahas oleh para tokoh psikologi, baik yang tersirat dalam Quran, Hadist, maupun kisah sejarah. Seperti contohnya kisah ketulusan Abu Bakar As-Siddiq yang ikhlas menyumbangkan seluruh harta bendanya guna membantu penyebaran Islam. Tanpa selflessness, seorang Ibu tidak akan pernah rela berkorban demi kelahiran buah hatinya, seorang ayah tidak akan mau banting tulang mencari nafkah untuk kesejahteraan keluarganya, seorang hartawan tidak akan berkenan menyedekahkan hartanya, dan dunia ini tidak akan pernah ada komunitas atau lembaga pelayanan masyarakat yang dibentuk secara non-profit.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa selflessness memberikan dampak bagi kesejahteraan psikologis. Jika self love hanya dapat memberikan kebahagiaan yang singkat dan hedonik, maka selflessness mampu memberikan kebahagiaan jangka panjang. Kebahagiaan selflessness terbentuk dari ketulusan yang terpancar dalam hati dan hanya mengharap rida Ilahi. Bagi mereka yang mempraktikkan, pengorbanan dan penderitaan yang dilakukan untuk orang lain dengan ikhlas dapat menjadi sumber kebahagiaan yang tiada terkira.
Nah, selflessness bisa dijadikan sebagai alternatif pilihan untuk meminimalisir self centered yang kita miliki. Contoh sederhananya, jika kita jarang atau hampir tidak pernah menawarkan bantuan kepada orang lain, yuk kita mulai mempraktekkan hal ini dengan cara mengikuti program volunteering atau sesederhana membantu orang sekitar yang membutuhkan. Jika selflessness mulai terlatih, maka bukan tidak mungkin lagi jika self love yang sehat akan muncul dalam diri seorang individu dan memancarkan aura positif.
Selfless Tidak Sama dengan People Pleasure
“Berarti, selflessness sama dengan people pleasure, dong?”
Selflessness dan people pleasure itu berbeda, people pleasure hanya fokus ke bagaimana caranya agar orang lain bahagia dengan kita mengikuti seperti apa yang diinginkan oleh individu atau kelompok tertentu. Sederhananya, people pleasure takut mengecewakan orang lain, masih terokupasi oleh harapan orang lain dan bukan muncul dari dorongan motivasi internal. Kita masih mengharapkan imbalan, marah jika balasan tidak sesuai dengan apa yang telah kita berikan.
Selflessness lebih tulus dan transcendental karena ia memiliki orientasi yang lebih besar daripada sekedar hal-hal yang berbau duniawi. Ia memberi dengan tulus, mengajar dengan tulus, membantu dengan tulus, menjadi volunteer dengan tulus, membina masyarakat dengan tulus, mengabdi dengan tulus, dsb.
Jadi, gimana nih. Sudah bertanya pada diri sendiri belum? Apakah kita sudah termasuk orang-orang yang tulus?
“Ketulusan itu tercermin saat ia dihina atau dicacimaki, ia tidak berhenti melakukan ketulusan, ia juga tidak marah ataupun kesal. Ia terus menebar kebermanfaatan kepada semua insan”.
Penulis : Relung Fajar Sukmawati
Sumber Referensi Artikel : Webinar CPMH Fakultas Psikologi UGM “Selfless Bukan Self Love, disampaikan oleh Ibu Dr. Diana Setiyawati, M.HSc.Psy., Psikolog